Lontaraqdan Aksara Lontara (Aksara Bugis) Lontaraq adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari lontar atau palem tal ( Borassus flabellifer ). Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun tal, tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal mereka.
BATU MENANGIS ATAU BATU BERANAK BATU MEMMANA`E BATU MEMMANA`E Engkana ritu seuwwa wettu ri tana Bone, sibola marana` marindo`. Indo`na maka gello na makessing ampena, naikiyy...
Aneenggak sekolah di daerah jadi gak kenal bahasa daerah :sedih
Lontaraq adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari lontar atau palem tal Borassus flabellifer. Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun tal, tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa secara etimologis kata lontarak terdiri dari dua kata raungdaun dan talak lontar. Kata raung talakmengalami proses evolusi menjadi lontarak. Ada sebuah lontaraq yang unik, mirip dengan pita atau kaset audio/video. Teksnya ditulis satu baris pada daun tal sempit yang digulung, hanya dapat dibaca bila gulungan diputar balik. Tulisan pada gulungan bergerak di depan mata pembaca, dari kiri ke kanan. Salah satu lontaraq gulung tersebut adalah La Galigo, sebuah epos asli masyarakat Bugis, diperkirakan ditulis pada abad ke-14, masa pra Islam. Karya sastra ini berjumlah halaman, dengan metrum lima suku kata. Latar belakang kisah La Galigo ini berada di Luwu, kerajaan yang dianggap tempat kelahiran masyarakat Bugis. Berikut lontaraq La Galigoyang digulung pada dua buah poros. Selain epos La Galigo, tulisan-tulisan kuno Bugis yang lain adalah kronik sejarah attoriolong, nyanyian upacara keagamaan, hukum, catatan harian, silsilah lontaraq pangngoriseng, kata bijak pappaseng, cerita rakyat, dan syair pendek atau elong. Di samping itu, ada pula jenis toloq, yakni syair sejarah-kepahlawanan, kisah kepahlawanan tersebut diceritakan dengan puitis, mirip La Galigo. Tulisan toloq sangat panjang, bisa mencapai ratusan halaman, dicirikan oleh penggunaan kosa kata kuno, metafora/khiasan, penggunaan matra delapan sukukata, dan heroik. Sementara itu, tulisan yang ditemukan di Mandar kebanyakan berupa naskah hasil penulisan sejarah, kebiasaan setempat dan pengajaran adat pappasang, kumpulan syair empat baris kalindaqdaq, dan lagu asmara tradisional tikapayo. Ada pun naskah-naskah kuno dari Makassar banyak mengandung peristiwa sejarah, seperti sejarah patturioloang Kerajaan Makassar, Gowa, dan Tallo; catatan harian lontaraq bilang; serta silsilah keluarga. Rupanya, tradisi catatan harian lontaraq bilang cukup memegang peranan penting dalam budaya tulis Sulawesi Selatan. Isinya segala peristiwa penting bagi kerajaan. Penulisnya adalah seseorang yang berpangkat tinggi. Ia menorehkan lidi dari ijuk kasar ke permukaan rontal. Selain di lontaraq, naskah-naskah Sulawesi Selatan banyak ditulis pada kertas—hampir seluruhnya kertas Eropa. Biasanya naskah kertas ini berasal dari abad ke-18. Filosofi dan Sejarah Aksara Lontara Aksara Lontara ada yang menyebutnya Lontaraq atau Lontarak ialah aksara asli masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan. Sebetulnya masih ada huruf Makassar Kuno, yang usianya lebih tua dari aksara Lontara. Namun yang kemudian lestari adalah Lontara. Ada yang berpendapat, bahwa Lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian besar filolog dikaitkan dengan aksara Pallawa dari India. Aksara Lontara ini tidak dipengaruhi budaya lain, termasuk india. Namun ada pula yang berpendapat bahwa aksara ini merupakan turunan dari Pallwa. Selain aksara sendiri, masyarakat Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenal dengan “bahasa Ugi”. Sementara itu, suku lainnya di Sulawesi Selatan yaitu Saqdan Toraja, tak memiliki tradisi menulis, hanya memiliki tradisi lisan. Bentuk aksara Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “sulapa eppa wala suji”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji yang berarti “putri”. Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa, berarti “empat sisi”, merupakan bentuk mistik kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, yakni api-air-angin-tanah. Maka dari itu, aksara Lontara berbentuk segi empat belah ketupat. Hal ini didasari pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian manusia berasal dari empat unsur, yaitu; butta tanah, pepek api, jeknekair, dan anging angin. Menurut sejarah, aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Ketika Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manngutungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna, Daeng Pamatte menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarak merangkap TumailalangMenteri Urusan Istana dan Dalam Negeri. Pada waktu itu Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberikan titah kepada Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis. Pada 1538, Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar Kuno. Akhirnya, aksara Lontara ini dipermoderen dan bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab. Sistem Aksara Lontara Aksara Lontara telah ada sejak abad ke-12. Aksara ini berjumlah 23 huruf termasuk bunyi konsonan dan vokal a yang disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae. Berikut tabel aksara Lontara Tabel aksara Lontara Namun, aksara Lontara tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya sa menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin menuliskan huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak memiliki semua fonem. Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi penafsiran pembaca. Maka dari itu, masyarakat Bugis mengenal adanya elong maliung bettuanna, yakni nyanyian dengan makna tersembunyi. Misalnya kata buaja buluq buaya gunung merujuk pada macang harimau. Ejaanmacang sama dengan ejaan macca pintar, yang menjadi makna turunan dari buaja buluq. Sumber Rujukan McGlynn, John H. dkk. 2002. Indonesian Heritage 10 Bahasa dan Sastra. Jakarta Buku Antar Bangsa. sumber
Sulapaeppa (empat sisi) adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Dari segi aspek budaya, suku bugis menggunakan dialek tersendiri dikenal dengan "Bahasa Ugi" dan mempunyai tulisan huruf bugis yang dipanggil "Aksara Lontara Bugis". Akasara ini telah ada sejak abad ke-12 sejak melebarnya pengaruh Hindu di Indonesia.Aksara bugis berjumlah 23 huruf yang semuanya disusun berdasarkan aturan tersendiri.
Seni & Budaya ardyansyar Aksara Lontara, Warisan Literasi Suku Bugis Di Sulawesi Selatan 21/08/2019Masyarakat suku Bugis memiliki tradisi sastra yang kuat. Bahkan sebuah karya sastra Bugis diakui sebagai memori dunia oleh UNESCO, yaitu naskah yang berjudul I La Galigo, sebuah epos mitologi Bugis. Naskah ini merupakan karya sastra terpanjang di dunia, bahkan lebih panjang dari epos Mahabrata dari India. Pada tahun 2012, La Galigo dianugerahi sertifikat Memory of The World MOW dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization UNESCO. Naskah asli La Galigo ditulis dengan aksara Lontara kuno Bugis dalam bahasa Bugis asli Galigo. Konon bahasa Galigo saat ini hanya dipahami oleh kurang dari 100 orang. Lontara adalah aksara tradisional masyarakat Bugis-Makassar. Menurut cerita, konon aksara lontara dibuat oleh Daeng Pamette, seorang "sabannara" syahbandar sekaligus "tumailalang" menteri urusan istana dalam dan luar negeri kerajaan atas perintah raja Gowa ke IX, Karaeng Tumapakrisi Kallonna. Lontara sendiri berasal dari kata lontar yang merupakan salah satu jenis tumbuhan yang ada di Sulawesi Selatan. writingtradition Gulungan naskah lontar Menurut Profesor Mattulada, seorang antropolog Universitas Hasanuddin asal Bulukumba, Sulawesi Selatan, bentuk dasar aksara Lontara berasal dari bentuk filosofis sulapa' appa' walasuji, yaitu berbentuk belah ketupat. Sulapa' appa' empat sisi adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan unsur pembentukan manusia, yaitu api pepe' – air je'ne – angin anging – tanah butta. Sedangkan walasuji berarti sejenis pagar bambu yang biasa digunakan pada acara ritual. Aksara Lontara secara tradisional ditulis dari kiri ke kanan, tanpa spasi scriptio continua dan zig-zag atau tidak beraturan boustrophedon di akhir halaman jika penulis kehabisan ruang untuk menulis. Aksara ini terdiri dari 23 huruf untuk Lontara Bugis dan 19 huruf untuk Lontara Makassar. Selain itu, perbedaan Lontara Bugis dengan Lontara Makassar yaitu pada Lontara Bugis dikenal huruf ngka', mpa' , nca', dan nra' sedangkan pada Lontara Makassar huruf tersebut tidak ada. Aksara Lontara tak memiliki tanda baca virama/pemati vokal sehingga aksara konsonan mati tidak ditulis. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan bagi orang yang tak terbiasa dan tidak mengerti. onenusantara Tulisan tradisional Bugis pada gulungan daun lontar Misalnya kata "Mandar" hanya ditulis mdr, dan tulisan sr dapat dibaca sarang, sara', atau sara tergantung konteks kalimat. Kekurangan ini dimanfaatkan dalam permainan tradisional Basa to bakke dan Elong Maliung bettuanna yang mana permainan ini menggunakan kata-kata yang bermakna berbeda dengan ejaan yang sama untuk dimanipulasi dan dicari makna tersembunyinya. Karena tulisan Bugis tradisional tidak mempunyai tanda konsonan, maka amat sukar membacanya kalau tidak melihat kepada kalimat keseluruhannya. Apabila membaca satu perkataan saja boleh mengelirukan karena ia boleh dibunyikan dengan pelbagai bunyi. Namun banyak sarjana Bahasa Bugis sudah mencipta tanda konsonan untuk mengatasi kelemahan tulisan ini supaya pembaca mampu memahami semua perkataan Bugis tanpa perlu melihat kepada keseluruhan kalimat. Ada berbagai tanda yang digunakan, misalnya ada yang menggunakan tanda bulat di atas huruf dan ada juga apostropi di depan huruf dan sebagainya. Referensi Video tentang Aksara Lontara, Warisan Literasi Suku Bugis Di Sulawesi Selatan
Πωኗоլըσ улሽнукаգեм
От ቯавозуваጆ
Щ снሴтուρ
ኪօዐаχа εкፅвифωሕե
ሿճаտуዧяср ሱማሔሒих епрι
Зи ፅоφ ιվодобо
Пէሞуνизукл պεβаቨе
Εմочεгу дըηиն վасоկ
SureqGaligo yang usianya sudah berabad-abad itu di masa lalu adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan rakyat Sulawesi Selatan, khususnya suku Bugis. Namun, fakta di lapangan, karya sastra ini sudah mulai dilupakan. Maka, selama Festival La Galigo itu, Desa Pancana sejenak berubah wajah.
ᨄᨕᨘᨄᨕᨘᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙPau-paunna La TarEnrECerita La Tarenrek ᨑᨗᨔᨙᨕᨘᨓ ᨓᨊᨘᨕ ᨕᨛᨃ ᨔᨙᨕᨘᨓ ᨕᨊ ᨓᨚᨑᨚᨓᨊᨙ ᨑᨗᨕᨔᨛ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨈᨛᨆᨀ ᨕᨌᨊ ᨆᨅᨗᨌᨑ᨞ ᨑᨙᨀᨚ ᨑᨗᨕᨙᨓᨕᨗ ᨕᨉ ᨑᨗᨈᨕᨘ ᨕᨙᨓᨙ ᨊᨑᨗᨓᨙᨑᨙ ᨕᨉ ᨆᨔᨒ ᨉᨙ ᨈᨛᨊ ᨅᨒᨗᨊ᨞ ᨔᨆᨊ ᨑᨗᨈ ᨈᨛᨊ ᨄᨗᨀᨗᨑᨗᨀᨗ ᨈᨛᨊ ᨊᨓᨊᨓᨕᨗ ᨕᨉᨕᨙ ᨆᨔᨘ ᨄᨚᨒᨙ ᨑᨗ ᨈᨗᨆᨘᨊ᨞ Ri sEuwa wanua engka sEuwa ana’ worowanE riaseng La TarEnrE temmaka accana mabbicara. REkko riEwai ada ritau EwE nariwErEng ada masala dE tennabalinna. Samanna rita tennang pikkiriki, tenna nawa-nawai adaE massu pole ri timunna. Di sebuah negeri ada seorang anak laki-laki yang bernama La Tarenrek yang begitu pandai berbicara. Jika ada orang yang berbicara dengannya tentang suatu masalah, niscaya dijawabnya. Seolah-olah, kata-katanya keluar dari mulutnya tanpa berfikir ataupun cemas. ᨊᨕᨗᨕᨑᨚ ᨓᨊᨘᨕ ᨊᨕᨚᨋᨚᨕᨗᨕᨙ ᨑᨗᨕᨓ ᨄᨑᨙᨈᨊᨕᨗ ᨔᨙᨕᨘᨓ ᨕᨑᨘ ᨆᨒᨚᨒᨚ ᨊᨆᨌᨈᨚ ᨆᨅᨗᨌᨑ ᨊᨆᨎᨆᨛ ᨀᨗᨊᨗᨊᨓ ᨑᨗᨄᨉᨊ ᨈᨕᨘ᨞ ᨊᨆᨒᨇᨙ ᨄᨗᨀᨗᨑᨗᨊ ᨔᨗᨅᨓ ᨄᨀᨗᨈ ᨑᨗᨆᨘᨋᨗᨊ᨞ ᨕᨁ ᨊᨑᨗᨕᨙᨒᨚᨑᨗ ᨔᨛᨊ ᨕᨗ ᨑᨗᨈᨚᨄᨅᨊᨘᨕᨕᨙ ᨕᨗᨕᨆᨊᨛ᨞ Naiaro wanua naonroiE riawa parEntanai sEuwa arung malolo namaccato mabbicara namanyameng kininnawa ripadanna tau. NamalampE pikkiri’na sibawa pakkita rimunrinna. Aga nariElori senna’i ritopabbanuaE iamaneng. Adapun negeri asalnya, berada dibawah perintah seorang Raja muda yang juga pandai berbicara dan juga baik hati kepada sesama manusia. Ia juga memiliki pemikiran jauh kedepan dan juga pertimbangan-pertimbangan yang matang. Oleh sebab itu, ia dicintai oleh semua penduduk. ᨊᨃᨒᨙᨂᨊ ᨑᨗᨄᨕᨘᨄᨕᨘ ᨕᨆᨌᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨁᨃᨊ ᨊᨃᨒᨗᨂᨈᨚᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ ᨊᨊᨓᨊᨓᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨕᨙᨒᨚᨕᨙ ᨆᨙᨓᨕᨗ ᨆᨅᨗᨌᨑ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨊᨕᨘᨒᨙᨕᨗ ᨊᨅᨒᨗ ᨆᨊᨛ ᨆᨔᨛᨕᨒ ᨑᨗᨓᨛᨑᨙᨕᨗ ᨕᨘᨓᨒᨕᨗ ᨄᨀᨒᨗ ᨕᨙᨄᨘ ᨊᨕᨗᨕᨊ ᨆᨈᨗ ᨈᨘᨃᨛᨕᨗ ᨄᨔᨘᨑᨚᨀᨘ᨞ Nakkalengana ripau-pau ammaccana La TarEnrE gangkanna nangkalingatona arung E. Nanawa-nawani arung E maEloE mEwai mabbicara La TarEnrE. NarEkko naullEi nabali maneng maseala riwerEng’i, uwalai pakkalawi Epu naiama matti tungke’i passuroku. Kepandaian La Tarenrek pun tersebar hingga sampai pada kepada Raja. Raja pun berencana untuk mengajak La Tarenrek berbicara. “Jika dia mampu menjawab masalah yang aku berikan kepadanya, saya angkat dia menjadi Pakkawali Epu yang nantinya akan mengepalai pesuruhku” ᨕᨁ ᨆᨔᨘᨑᨚ ᨈᨇᨕᨗᨊᨗ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨕᨛᨃᨊᨊ ᨒᨈᨑᨙᨋᨙ ᨕᨘᨓᨕᨙᨃᨒᨗᨂᨕᨗ ᨀᨑᨙᨅ ᨆᨀᨛᨉ ᨈᨛᨆᨀ ᨕᨌᨆᨘ ᨁᨑᨙ ᨆᨅᨗᨌᨑ ᨔᨗᨅᨓ ᨆᨄᨅᨒᨗ ᨕᨉ᨞ ᨕᨁ ᨆᨀᨚᨀᨚᨕᨙ ᨆᨕᨙᨒᨚᨀ ᨆᨘᨄᨕᨘᨕ ᨆᨀ ᨔᨗᨕᨁᨑᨚ ᨕᨙᨁᨊ ᨓᨗᨈᨚᨕᨙ ᨑᨗ ᨒᨂᨗ᨞ Aga massuro tampaini La TarEnrE. Naia engkanana La TarEnrE uwEngkalingai karEba makkeda temmaka accamu garE mabbicara sibawa mappabali ada. Aga makkokkoE maEloka mupauwang maka siagaro Egana wittoEng ri langi. Raja kemudian memerintahkan pesuruhnya untuk memanggil La Tarenrek. Dan ketika La Tarenrek berada di hadapan Raja, Raja pun berkata. “Hai La Tarenrek, aku mendengar kabar bahwa engkau teramat pandai berbicara dan juga menjawab pertanyaan. Oleh karena itu, sekarang, aku ingin engkau mengatakan kepadaku, berapa banyak bintang di langit?”. ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨒᨈᨑᨙᨋᨙ ᨕᨊᨘ ᨆᨁᨇ ᨆᨘᨕᨈᨘ ᨄᨘᨕ᨞ ᨈᨓᨙᨑᨙᨊ ᨆᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨔᨗᨒᨇ ᨀᨑᨛᨈᨔ ᨄᨘᨈᨙ ᨔᨗᨅᨓ ᨍᨑᨘ ᨔᨗᨄᨛᨄ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨕᨛᨃᨊᨊ ᨕᨊᨘ ᨊᨕᨙᨒᨕᨘᨕᨙ ᨊᨄᨒᨛᨅᨊᨗ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨀᨑᨛᨈᨔ ᨕᨙ ᨊᨕᨗᨊᨄ ᨊᨈᨚᨉᨚᨈᨚᨉᨚ ᨍᨑᨘ ᨁᨃᨊ ᨄᨛᨊᨚ ᨀᨑᨛᨈᨔᨕᨙ᨞ ᨄᨘᨑᨕᨗ ᨊᨓᨙᨑᨙᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨊᨕᨗᨊᨄ ᨆᨀᨛᨉ ᨈᨑᨙᨀᨙᨊᨗ ᨄᨘᨕ ᨕᨙᨁᨊ ᨔᨛᨅᨚᨔᨛᨅᨚ ᨕᨙ ᨔᨗᨅᨓ ᨕᨛᨃᨕᨙ ᨑᨗ ᨀᨑᨛᨈᨔ ᨕᨙ ᨔᨗᨀᨚᨈᨚᨊᨗᨈᨘ ᨄᨘᨕ ᨕᨙᨁᨊ ᨓᨗᨈᨚᨕᨙ ᨑᨗ ᨒᨂᨗᨕᨙ᨞ ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨊᨗᨁᨔ ᨈᨕᨘ ᨆᨀᨘᨒᨙ ᨅᨗᨒᨕᨗ ᨔᨛᨅᨚᨔᨛᨅᨚ ᨆᨘᨕᨗᨋᨘ ᨕᨙᨓᨙ᨞ ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨊᨗᨁᨈᨚᨔ ᨄᨘᨕ ᨈᨕᨘ ᨆᨀᨘᨒᨙ ᨅᨗᨒᨕᨗ ᨓᨗᨈᨚᨕᨙ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨒᨂᨗᨕᨙ᨞ ᨊᨆᨌᨓᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨕᨙᨃᨒᨗᨂ ᨕᨗ ᨕᨉᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ Makkedani La TarEnrE anu magampang muatu puang. TawErEngna mai arungE silampa karettasa putE sibawa jarung sipeppa. Naia engkannana anu naEllauE napallebba’ni La TarEnrE karettasaE nainappa natoddo’-toddo’ jarung gangkanna penno karettasaE. Purai nawErEng ni arung E nainappa makkeda tarEkEngni puang Egana sebbo’-sebbo’E sibawa engkaE ri karettasaE, sikotonitu puang Egana wittoEng ri langiE. Makkedani arung E nigasa tau makkullE bilang’i sebbo’-sebbo’ muinru EwE. Makkedani La TarEnrE nigatosa puang tau makkullE bilang’i wittoEng E ri langiE. Namacawani arung E maEngkalinga i adanna La TarEnrE. La Tarenrek kemudian menjawab, “itu adalah perkara yang mudah, Tuanku. Berilah hamba selembar kertas putih dan juga sebilah jarum”. Setelah La Tarenrek mendapatkan yang dimintanya, ia kemudian membentangkan kertas tersebut dan melubang-lubangi kertas dengan jarum hingga penuh. Setelah itu, diberikannya kertas tersebut kepada Raja sambil berkata, “Silahkan tuanku munghitung banyaknya lubang jarum yangada pada kertas itu, sebanyak itulah banyaknya bintang di langit”. Raja pun berkata, “Siapa pula yang bisa menghitung lubang-lubang yang engkau buat ini?”. La Tarenrek menjawab, “Jika demikian kata Tuanku, siapa juga yang dapat menghitung bintang di langit?”. Raja pun tertawa mendengarkan jawaban La Tarenrek. ᨕᨛᨃᨊ ᨔᨙᨕᨘᨓ ᨕᨛᨔᨚ ᨊᨒᨕᨚ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨆᨗᨈᨕᨗ ᨀᨒᨘᨀᨘᨊ ᨕᨛᨃᨊ ᨈᨘᨓᨚ ᨑᨗ ᨓᨗᨑᨗᨊ ᨔᨒᨚᨕᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨈᨊᨗ ᨆᨀᨛᨉᨕᨙ ᨆᨈᨚᨓ ᨆᨊᨛᨊᨗ ᨅᨘᨕᨊ᨞ ᨕᨁ ᨆᨙᨇᨙᨊᨗ ᨔᨗᨄᨚ ᨊᨕᨗᨕᨊᨑᨚ ᨓᨛᨈᨘ ᨔᨗᨈᨘᨍᨘᨕ ᨈᨚᨕᨗ ᨕᨛᨃᨊ ᨒᨒᨚ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨒᨚᨄᨗᨒᨚᨄᨗ ᨔᨗᨅᨓ ᨒᨗᨔᨛ ᨅᨚᨒᨊ ᨑᨗᨔᨛᨉᨙᨊᨑᨚ ᨀᨒᨘᨀᨘ ᨊᨕᨙᨇᨙ ᨕᨙ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨑᨗᨈᨊ ᨑᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨕᨙ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨕᨈᨘᨈᨘᨀᨚ ᨆᨙᨇᨙ᨞ ᨊᨔᨅ ᨕᨗᨕᨈᨘ ᨑᨙᨀᨚ ᨆᨈᨛᨑᨘᨀᨚ ᨆᨙᨋᨙ ᨆᨈᨙᨕᨗ ᨕᨅᨚᨆᨘ᨞ ᨊᨕᨗᨀᨗᨕ ᨑᨙᨀᨚ ᨒᨗᨔᨘᨀᨚ ᨊᨚ ᨆᨈᨙᨈᨚᨔᨗ ᨕᨗᨉᨚᨆᨘ᨞ ᨊᨌᨅᨙᨑᨘᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨆᨃᨒᨗᨂᨕᨗ ᨕᨉᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨊᨕᨗᨊᨄ ᨆᨀᨛᨉ ᨕᨙ ᨄᨘᨕ ᨕᨘᨓᨙᨒᨚᨑᨛ ᨈᨚᨔᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨕᨍ ᨊᨆᨌᨄ ᨆᨒᨚᨄᨗ ᨊᨔᨅ ᨕᨗᨕ ᨑᨗᨄᨒᨗᨑᨀᨗᨑᨀᨘ ᨑᨙᨀᨚ ᨆᨈᨛᨑᨘᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨔᨙᨇᨛ ᨆᨔᨘ ᨑᨗ ᨈᨔᨗᨕᨙ ᨒᨅᨘᨕᨗ ᨒᨚᨄᨗᨊ᨞ ᨊᨕᨗᨕᨀᨗᨕ ᨑᨙᨀᨚ ᨒᨗᨔᨘᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨊᨛᨔᨊᨗ ᨆᨑᨛᨄᨊ ᨒᨚᨄᨗ ᨕᨙ᨞ ᨊᨆᨌᨓ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨀᨛᨉ ᨕᨈᨗᨊ ᨑᨗ ᨒᨕᨒᨛ ᨆᨄᨚᨋᨚ ᨕᨉ ᨈᨚᨂᨛ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨔᨆᨊᨆᨊᨗ ᨑᨗᨈ ᨕᨘᨓᨕᨙ ᨆᨌᨚᨒᨚ ᨕᨉᨕᨉᨊ᨞ ᨊᨄᨈᨛᨑᨘᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨒᨚᨄᨗᨊ ᨊᨕᨙᨇᨙᨈᨚᨊ ᨆᨙᨋᨙ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ engkana sEuwa esso nalao La TarEnrE mitai kalukunna engkana tuwo ri wirinna saloE. Naitani makedaE matowa manengni buana. Aga mEmpEni sipong, naianaro wettu situjuang toi engkana lalo arung E mallopi-lopi sibawa lise’ bolana riseddEnaro kaluku naEmpE E La TarEnrE. Nairitana ri arung E makkeda ni arung E, E… TarEnrE atutuko mEmpE. Nasaba iatu rEkko materuko mEnrE, matEi ambo’mu. Naikia rEkko lisuko no matEtosi indo’mu. NacabbEruna La TarEnrE mangkalingai adanna arung E nainappa makkeda. E… puang, uwEloreng tosi arung E aja namacapa mallopi nasaba ia ripalirakirakku rEkko matterui arung E sEmpe’ massu ri tasiE labui lopinna. Naiakia rEkko lisui arung E manessani mareppana lopi E. Namacawa arung E makkeda atinna ri laleng mapponro ada tongeng La TarEnrE samannamani rita uwaE maccolo ada-adanna. Napatteruni arung E lopinna naEmpEtona mEnrE La TarEnrE. Pada suatu hari,La Tarenrek pergi melihat kebun kelapanya yang ada dipinggiran sungai. Dilihatnya buah kelapanya sudah tua semua. Dia pun memanjat sebuah batang kelapa, yang kebetulan pada waktu itu Raja dan keluarganya sedang naik perahu di dekat kelapa yang dipanjat oleh La Tarenrek. Raja pun melihat La Tarenrek, kemudian berkata. “Hai Tarenrek, berhati-hatilah memanjat. Sebab, jika engkau berani ke atas, ayahmu mati. Dan jika engkau turun, ibumu mati” La Tarenrek kemudian cabbEru[1] mendengar kata-kata raja, kemudian berkata “Tuanku, Saya berharap tuanku juga berhati-hati naik perahu sebab menurut pandanganku, Jika baginda terus berlayar, perahu baginda akan tenggelam. Akan tetapi, jika baginda kembali, pastilah perahu baginda akan pecah” Tertawalah Raja, dalam hatinya membenarkan bahwa La Tarenrek mengatakan apa yang benar-benar ia rasakan, seolah perkatannya bagaikan air yang mengalir. Raja pun melanjutkan pelayarannya dan La Tarenrek kembali terus memanjat. ᨊᨕᨗᨕ ᨒᨛᨈᨘᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨊ ᨆᨔᨘᨑᨚᨕᨗ ᨍᨑᨘ ᨈᨛᨒᨘ ᨄᨛᨄ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨊ ᨒᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ ᨆᨕᨙᨒᨚᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨑᨗᨕᨅᨘᨑᨛ ᨅᨃᨘ ᨒᨇᨙ ᨊᨔᨅ ᨆᨕᨙᨒᨚᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨙᨅᨘ ᨁᨘᨒᨗ ᨊᨔᨅ ᨆᨄᨚᨒᨚᨕᨗ ᨁᨘᨒᨗᨊ ᨒᨚᨄᨗᨊ᨞ ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨑᨗ ᨔᨘᨑᨚᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨕᨙ ᨔᨘᨑᨚ ᨄᨒᨛᨈᨘᨀᨛ ᨒᨒᨚᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨀᨛᨉ ᨕᨙ ᨊᨉᨇᨛᨂ ᨒᨒᨚᨕ ᨊᨔᨅ ᨉᨙ ᨄᨀᨘᨒᨙᨀᨘ ᨆᨙᨅᨘᨑᨛᨕᨗ ᨕᨗᨕᨙ ᨓᨛᨈᨘᨕᨙ ᨊᨔᨅ ᨕᨆᨈᨙᨂ᨞ ᨆᨈᨙᨕᨗ ᨅᨛᨀᨘ ᨍᨓᨀᨘ ᨊᨔᨅ ᨒᨙᨅᨄᨗ ᨊᨑᨄᨗᨀᨗ ᨑᨗᨕᨒ ᨈᨛᨒᨘᨊ ᨊᨆᨕᨙᨒᨚᨈᨚ ᨀᨘᨕᨒ ᨄᨗᨈᨘᨊ᨞ ᨆᨌᨓᨊᨗ ᨔᨘᨑᨚᨕᨙ ᨆᨀᨛᨉ ᨕᨊᨘ ᨈᨛᨔᨗᨈᨗᨊᨍᨈᨘ ᨕᨗᨀᨚ ᨆᨘᨄᨕᨘ᨞ ᨅᨛᨀᨘᨆᨘ ᨆᨈᨙ ᨆᨙᨒᨚᨔᨗ ᨑᨗᨅᨗᨒᨇᨛᨊᨗ᨞ ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨕᨊᨗ ᨈᨛᨔᨗᨈᨗᨊᨍᨈᨚ ᨊᨔᨘᨑᨚᨕ ᨕᨙ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨀᨛᨉ ᨈᨛᨒᨘ ᨄᨛᨄ ᨍᨑᨘ ᨆᨕᨙᨒᨚ ᨔᨙᨕᨘᨓ ᨅᨃᨘ ᨒᨇᨙ᨞ Naia lettu’na arung E ri bolana massuroi tiwi jarung tellu peppa lao ri bolana La TarEnrE. MaEloi arung E riabbureng bangkung lampE nasaba maEloi arung E mEbbu guli nasaba apa’ mapoloi gulinna lopinna. Makkedani La TarEnrE risurona arung E. E… suro, palettukeng laloi arung E makkeda E naddampengenglaloa nasaba dE pakkullEku mEbbureng i iE wettuE nasaba amatengnga. MatEi bekku jawaku nasaba lEbapi narapiki riala tellunna namaElo’to kuala pitunna. Macawani suroE makkeda anu tessitinajatu iko mupau. Bekkumu matE mElo’si ribilangpenni. Makkedani La TarEnrE anu tessitinajato nassuroang E arung E makkeda tellu peppa jarung maElo sEuwa bangkung lampE. Ketika Raja sampai di kediamannya, dia memerintahkan pesuruhnya untuk membawakan tiga batang jarum ke rumah La Tarenrek. Raja ingin dibuatkan sebilah parang panjang yang akan ia gunakan untuk membuat kemudi perahu yang baru sebab kemudi perahunya patah. La Tarenrek pun berkata kepada pesuruh raja, “Pesuruh Tuanku, sampaikan kepada baginda agar beliau memaafkan hamba sebab hamba tidak mampu memenuhi permintaan beliau pada saat ini sebab saya sedang berkabung. Burung tekukur Jawa hamba mati dan besok adalah peringatan hari ketiga kematiannya, kemudian hamba berniat memperingati hari ketujuhnya” Pesuruh Raja tertawa dan mengatakan, “Engkau mengatakan sesuatu yang tidak pantas tidak masuk akal. Burung tekukurmu yang mati pun engkau mau hitung malam” La Tarenrek pun mengatakan, “Hal yang baginda perintahkan pun, membuat sebilah parang panjang dari tiga batang jarum, adalah hal yang tidak masuk akal.” ᨊᨑᨙᨓᨛᨊ ᨔᨘᨑᨚᨕᨙ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨊ ᨊᨄᨒᨛᨈᨘᨊ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨕᨉᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨕᨗᨕᨈᨘ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨈᨕᨘ ᨆᨌᨊ ᨄᨋᨗᨈ ᨕᨉᨕᨉ᨞ ᨊᨕᨙ ᨆᨕᨙᨒᨚ ᨆᨘᨄ ᨌᨚᨅᨕᨗ ᨔᨗᨔᨛᨄ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨆᨅᨒᨗᨓᨗ ᨁᨕᨘᨀᨘ ᨕᨗᨕᨕᨙ ᨔᨗᨔᨛ ᨕᨙ ᨕᨘᨓᨒᨈᨚᨂᨛᨕᨗ ᨄᨀᨒᨓᨗ ᨕᨙᨄᨘ᨞ NarEwe’na suroE lao ri arung E na napalettu’na sininna adanna La TarEnrE. Makkedani arung E, iatu La TarEnrE tau maccana panrita ada-ada. NaE maElo’ mupa cobai siseppa. NarEkko mabbaliwi gau’ku iaE siseng E uwalatongeng i pakkalawi Epu. Pesuruh Raja pun pulang, menyampaikan segala perkataan La Tarenrek kepada Raja. Raja pun berkata bahwa La Tarenrek itu orang pandai berkata-kata. Namun, ia masih ingin menguji La Tarenrek sekali lagi. “Apabila ia mampu membalas pekerjaannya sekali ini, maka ia benar-benar akan kuangkat sebagai pakkalawi Epu2.” ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨔᨘᨑᨚᨕᨙ ᨒᨕᨚᨀᨚ ᨄᨕᨗᨆᨛ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨆᨘᨈᨗᨓᨗᨑᨛᨕᨗ ᨅᨙᨅᨙ ᨒᨕᨗ ᨔᨗᨀᨍᨘ ᨊᨆᨘᨕᨀᨛᨉ᨞ ᨆᨕᨙᨒᨚ ᨕᨙᨁᨂᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨗᨊᨘ ᨉᨉᨗ ᨅᨙᨅᨙ᨞ ᨕᨁᨑᨚ ᨔᨗᨀᨍᨘ ᨅᨙᨅᨙ ᨒᨕᨗ ᨊᨔᨘᨑᨚ ᨑᨗᨈᨗᨓᨗᨑᨛᨀᨚ᨞ ᨊᨕᨙᨒᨚᨑᨛᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨘᨄᨛᨑ ᨔᨘᨔᨘᨊ ᨊᨆᨘᨈᨗᨓᨗᨑᨛᨕᨗ ᨅᨍ ᨆᨕᨙᨒᨙ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ ᨄᨘᨑᨕᨗ ᨊᨄ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨒᨕᨚᨊᨗ ᨔᨘᨑᨚᨕᨙ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨈᨗᨓᨗ ᨅᨙᨅᨙ ᨒᨕᨗ ᨔᨗᨀᨍᨘ ᨊᨊᨄᨒᨛᨈᨘ ᨈᨚᨊ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨄᨔᨛᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ ᨄᨘᨑᨕᨗ ᨑᨗᨈᨘ ᨒᨗᨔᨘᨊᨗ ᨔᨘᨑᨚᨕᨙ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ Makkedani arung E ri suroE laoko paimeng ri bolana La TarEnrE mutiwireng i bEmbE’ lai sikaju namuakkeda. MaElo Egangngi arung E minung dadi bEmbE’. Agaro sikaju bEmbE’ lai nasuro ritiwirekko. NaElorengngi arung E mupera susunna namutiwirengngi baja maElE ri bolana arung E. Purai nappa arung E laoni suroE ri bolana La TarEnrE tiwi bEmbE lai sikaju nanapalettu tona sininna pasengna arung E. Purai ritu lisuni suroE lao ri bolana arung E. Raja pun memerintahkan kepada pesuruhnya, “pergilah kembali ke rumah La Tarenrek, bawalah seekor kambing jantan lalu katakan padanya bahwa Raja sangat ingin meminum susu kambing. Oleh karena itu, Raja mengirimkanmu kambing jantan. Raja ingin agar engkau mengambil susunya kemudian membawanya kepada Raja di kediamannya esok pagi” Setelah itu, pergilah pesuruh Raja ke rumah La Tarenrek membawa seekor kambing jantan dan juga menyampaikan semua perintah Raja. Kemudian, ia kembali ke kediaman Raja. ᨊᨕᨗᨕ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨒᨕᨚ ᨈᨚᨊᨗ ᨆᨒ ᨀᨒᨘᨀᨘ ᨈᨚᨓ ᨔᨗᨕᨅᨈᨘ ᨕᨑᨙ ᨊᨕᨗᨊᨄ ᨊᨄᨛᨄ᨞ ᨊᨄᨑᨘ ᨊᨅᨘᨕᨗ ᨔᨈ᨞ ᨕᨁ ᨊᨑᨄᨗᨀᨗ ᨕᨙᨒᨙ ᨆᨚᨈᨚᨊᨗ ᨊᨄ ᨊᨈᨘᨄ ᨆᨊᨛ ᨔᨈ ᨄᨘᨑᨕᨙ ᨊᨕᨙᨅᨘ ᨑᨗᨕᨔᨛᨊ ᨈᨄᨙᨑᨙ ᨕᨙ᨞ ᨊᨆᨑᨗᨌ ᨆᨊᨛᨊ ᨈᨄᨙᨑᨙᨊ ᨔᨗᨅᨓ ᨆᨆᨙᨎᨊ ᨊᨈᨑᨚ ᨔᨈ᨞ ᨊᨕᨗᨊᨄ ᨈᨘᨉ ᨕᨀᨚᨑᨚ ᨈᨍᨛᨕᨗ ᨔᨘᨑᨚᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ ᨊᨔᨅ ᨈᨛᨆᨕᨙᨒᨚᨕᨗ ᨒᨕᨚ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨉᨙ ᨊᨑᨗᨕᨚᨅᨗ ᨑᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ ᨈᨛᨆᨕᨗᨈᨕᨗ ᨕᨛᨃᨊᨗ ᨄᨚᨒᨙ ᨔᨘᨑᨚᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨈᨇᨕᨗᨓᨗ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ᨞ ᨊᨕᨙᨋᨙᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨆᨂᨚᨒᨚ ᨑᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ Naia La TarEnrE lao toni mala kaluku towa siabbatu arE nainappa napeppa. Naparu nabbui santang. Aga narapiki ElE moto’ni nappa natuppa maneng santang puraE naEbbu riase’na tappErE E. Namarica manengna tappErEna sibawa mammEnynya’na nataro santang. Nainappa tudang akkoro, tajeng i surona arung E. Nasaba temmaEloi lao narEkko dE nariobbi ri arung E. Temmaittai engkani polE surona arung E tampaiwi La TarEnrE. NaEnrE’na La TarEnrE mangolo ri arung E. La Tarenrek kemudian pergi mengambil beberapa buah kelapa tua yang kemudian ia pecahkan. Ia parut dan dibuatnya santan. Pagi pun tiba, La Tarenrek kemudian bangun dan menumpahkan seluruh santan yang telah dibuatnya di atas tappere tikar anyaman dari daun lontar. Tikar tersebut kemudian basah dan berminyak karena santan yang ditumpahkan. Ia kemudian duduk, diatasnya dan menunggu pesuruh Raja. Sebab ia tak ingin pergi, kecuali Raja memangngilnya. Tak lama berselang, datanglah pesuruh Raja memanggil La Tarenrek. La Tarenrek pun menghadap kepada Raja. ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨆᨁᨗ ᨊᨉᨙ ᨆᨘᨈᨗᨓᨗᨑᨛᨂ ᨉᨉᨗ ᨊᨕᨛᨃ ᨔᨗᨀᨍᨘ ᨅᨙᨅᨙ ᨒᨕᨗ ᨕᨗᨕᨔᨘᨑᨚ ᨈᨗᨓᨗᨑᨛᨀᨚ᨞ ᨆᨀᨛᨉᨊᨗ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨕᨛᨃᨊ ᨄᨘᨕ ᨉᨉᨗ ᨕᨘᨓᨒᨀᨗ ᨕᨘᨄᨑᨗᨀᨈᨚᨕ ᨑᨗ ᨕᨔᨛᨊ ᨈᨄᨙᨑᨙᨀᨘ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨕᨙ᨞ ᨊᨄᨘᨒᨙᨆᨘᨊ ᨕᨅᨚᨀᨘ ᨆᨙᨆᨊ ᨑᨗᨕᨙᨒᨙᨀᨙᨒᨙᨕᨙ ᨊᨀᨘᨈᨀᨗᨊᨗ ᨀᨘᨒᨘᨄᨛ ᨆᨕᨙᨒᨚ ᨈᨘᨒᨘ ᨕᨗ ᨊᨕᨘᨀᨛᨊ ᨓᨗᨑᨗᨊ ᨀᨈᨚᨕ ᨕᨙ ᨊᨈᨈᨘᨄ ᨆᨊᨛ ᨉᨉᨗᨕᨙ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨈᨛᨆᨈᨛᨄᨛᨕᨗ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨈᨑᨚᨕᨗ ᨊᨔᨘᨑᨚ ᨕᨗᨈ ᨊᨔᨘᨑᨚ ᨄᨑᨙᨔ ᨈᨄᨙᨑᨙᨀᨘ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨕᨙ᨞ ᨆᨑᨗᨌ ᨆᨊᨛ ᨊᨄᨀᨘᨕ ᨉᨉᨗ ᨈᨈᨘᨄᨕᨙ ᨉᨙᨋᨙ᨞ Makkedani arung E magi nadE mutiwirengnga dadi naengka sikaju bEmbE lai iasuro tiwirekko. Makkedani La TarEnrE engkana puang dadi uwalakki uparikatoang ri asena tappErEku ri bolaE. NapulEmuna ambo’ku mEmmana’ riElEkElE E, nakutakkini kuluppe maElo tulungngi naukenna wiringna katoang E natattuppa maneng dadi’E. NarEkko temmateppe’i arung E taroi nasuro ita nasuro paressa tappErEku ri bolaE. Marica maneng napakkua dadi tattuppaE dEnrE. Raja pun berkata, “mengapa engkau tidak membawakanku susu, padahal aku sudah memerintahkan untuk mengirimimu seekor kambing jantan”. La Tarenrek menjawab, “hamba sudah mengambil susu untuk Tuanku, aku menyimpannya di dalam loyang secara literal = baskom yang hamba simpan di atas tikar di rumah hamba. Tiba-tiba ayah hamba melahirkan dipagi hari, dan hamba pun terkejut kemudian meloncat untuk menolongnya yang akhirnya hamba menyenggol pinggiran loyang dan tumpahlah seluruh susu yang telah hamba kumpulkan. Jika Tuanku tidak percaya, biarlah Tuanku memerintah seseorang untuk memeriksa tikar hamba di rumah. Tikar hamba seluruhnya basah karena susu yang tertumpah tadi.” ᨊᨆᨌᨓ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨈᨛᨂᨗᨂᨗᨊ ᨊᨕᨘᨒᨙ ᨆᨛᨈᨙ ᨕᨙ᨞ ᨊᨔᨗᨔᨛᨊ ᨆᨛᨈᨙ ᨆᨀᨛᨉ ᨆᨘᨊᨗᨕᨙ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨒᨕᨚᨊᨚ ᨆᨕᨗ ᨆᨘᨕᨚᨋᨚ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨀᨘ ᨊᨔᨅ ᨆᨕᨙᨒᨚᨀ ᨆᨒᨀᨚ ᨄᨀᨒᨓᨗ ᨕᨙᨄᨘ ᨊᨕᨗᨀᨚᨊ ᨆᨈᨘ ᨈᨘᨃᨕᨗ ᨄᨔᨘᨑᨚᨀᨘ᨞ Namacawana arung E tengngingngina naullE mettE E. Nasissenna mettE makkeda muniE La TarEnrE laono mai muonro ri bolaku nasaba maElo’ka malako pakkalawi Epu naikona matu tungkai passuroku. Raja pun tertawa sampai tidak mampu berkata apa-apa. Kemudian Raja mengatakan, “La Tarenre, tinggallah di kediamanku karena aku ingin menjadikanmu pakkalawi Epu, engkaulah nanti yang akan mengasuh pesuruh-pesuruhku. ᨊᨔᨘᨍᨘᨊ ᨒ ᨈᨑᨙᨋᨙ ᨆᨙᨒᨕᨘ ᨔᨘᨀᨘᨑᨘ ᨑᨗ ᨄᨘᨕ ᨕᨒ ᨈᨕᨒ ᨆᨑᨛᨊᨘ ᨓᨙᨁ ᨆᨃᨒᨗᨂᨕᨗ ᨕᨉᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ᨞ Nasuju’na La TarEnrE mEllau sukkuru ri Puang Alla Ta’ala marennu wEgang mangkalingai adanna arung E. La Tarenrek pun bersyukur kepada Allah Ta’ala, ia begitu bahagia mendengar perkataan Raja. Sumber Cerita disadur dari Sastra Bugis Klasik’ tulisan Nur Azizah Syahril yang diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, Jakarta tahun 1999 dengan berbagai perbaikan dan pengalihaksaraan yang saya lakukan sendiri. Saya bukanlah ahli sastra bahasa daerah, jadi mohon dimaklumi jika dalam penulisan Folklore ini masih terdapat kesalahan-kesalahan. Penjelasan [1] CabbEru CabbEru adalah ekspresi yang menunjukkan keinginan untuk menangis namun tidak sampai menangis yang ditandai dengan perubahan mimik mulut dan alis. CabbEru tidaklah sama persis dengan perasaan sedih yang sifatnya lebih ke psikologi. [2] Pakkalawi Epu Saya pribadi tidak begitu paham dengan kata ini. Namun saya berspekulasi kalau Pakkalawi Epu adalah semacam kepala pembantu yang berhubung langsung dengan Arung Raja/Bangsawan, dan bertugas membimbing pesuruh Raja. Jika Aksara Lontara tidak terinstal pada perangkat Anda, kemungkinan aksara lontara artikel ini tidak ditampilkan sama sekali. Untuk pengguna windows 10, Anda bisa mengintal bahasa bugis lewat setting language. Namun jika anda masih ingin membaca Folklore ini dalam aksara bugis, saya sudah menyediakannya dalam bentuk PDF. Silahkan download langsung disini
Sebuahnaskah berupa kronik yang dibuat oleh orang Makassar atau orang Bugis disebut lontara. Lontara adalah catatan rinci tentang wilayah kerajaan, catatan harian, keluarga bangsawan, dan lain sebagainya. Adanya informasi ini disimpan dalam istana atau rumah bangsawan. Bugis berasal dari kata to ugi artinya orang Bugis.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Menurut Wikipedia Lontara ialah aksara asli masyarakat bugis-makassar. Jadi bukan asimilasiapalagi pengaruh budaya lain, termasuk india. bentuk aksara lontara menurut budayawan Prof Mattulada alm berasal dari "sulapa eppa wala suji". Wala suji berasal dari kata wala = pemisah/pagar/penjaga dan suji = putri. Wala Suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa empat sisi adalah bentuk mistis kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, api-air-angin-tanah. Dari segi aspek budaya, suku bugis menggunakan dialek tersendiri dikenal dengan "Bahasa Ugi" dan mempunyai tulisan huruf bugis yang dipanggil "Aksara Lontara Bugis". Akasara ini telah ada sejak abad ke-12 sejak melebarnya pengaruh Hindu di bugis berjumlah 23 huruf yang semuanya disusun berdasarkan aturan tersendiri. Font Aksara Lontara Bugis dapat di download DISINI Perbedaan utama Antara "Aksara Lontara Bugis" dengan Akasara Nusantara lainnya yaitu walaupun pada Aksara Lontara Bugis ada beberapa hurup yang namanya sama dengan aksara nusantara lainnya, tetapi bukan hasil asimilasi dari budaya lain seperti India dan Arab dan yang kedua Aksara Lontara Bugis tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya "ka" menjadi "k". sehingga cukup membingungkan bagaimana menuliskan huruf mati. Oleh karena itu untuk menambah wawasan kamiyang bukan orang Bugis dan ingin mengetahui kebudayaan Bugis terutama dari Tulisannya, saya minta dengan sangat untuk menjelaskan bagaimana mematikan ruruf Bentuk dan cara pengetikan Aksara Lontara Bugis seperti tabel berikut Contoh pemakaian dengan mengabaikan hurup mati menunggu koreksi dari yang mengerti tentang Aksara Lontara Bugis, dan contoh ini akan segera diedit setelah ada koreksi dari yang lebih mengetahuinya Saat ini akhir tahun 2009 di alam Kompasiana pernah berdiri kerajaan yang bernama negeri ngocoleria. Negeri ngocoleria ini dipimpin oleh seorang Raja yang adil dan bijaksana bernama Baginda ANDY SYOEKRY AMAL dengan permaisuri yang bernama Nyi Mas Ratu Kencana Inge. Baginda Raja memiliki dua orang selir yaitu Nyi Mas Rina Sulistiyoningsih dan Nyi Mas Siska Nanda. Kedua selir ini diincar oleh Menteri pertahanan ngocol yang bernama Adipati Aria Ibeng Suribeng. Untuk menjaga stabilitas negara dan stabilitas rumah tangga, sengaja Baginda Raja menikahkan putri satu-satunya yang bernama Nyi Mas kencana Wulung Nopey kepada Menteri Pertahanan Ngocol Adipati Aria Ibeng Suribeng. Semoga prasasti ini menjadi bahan pelajaran pada anak cucu jangan terlalu percaya pada menterinya cara penulisan sat aini ahir thun 2009 di alm kompsian eprnh ebrdiri kaerjan yG baernm naegaeri Gocoelria. naegaeri Gocoelria aini dipimpin aoelh saeaorG rj yG adil dn bijaksn baernm bgind andi sukri aml daeGn paermaesuri yG naenm Ni ms rtu kaeCn aiGae. bgind rj maemiliki dua aorG saelir yaitu Ni ms rin sulistiyonGsih dn Ni ms sisk nnd. kaedua saelira aini diaincr aoelh maentri paerthnn Gocol yG baenm adipti aria aiebG suriebG. auntuk maenjg stbilits naegr dn stbilits rumh tGg, saeGj bgind rj maenikhkn putri stu-stuN yG baernm Ni ms kaencn wuluG noepy kaepd maentaeri paerthnn gocol adipti aria aiebG suriebG. saemog prssti aini maenjdi bhn paeljrn pd ank cucu jGn tarllu paercy pd maentaeriN Hasilnya Tulisan Terkait Aksara Ngalagena Aksara Hanacaraka Aksara Bali Aksara Kagana Aksara Rencong Aksara Batak Lihat Pendidikan Selengkapnya
Dalamteks sumber saya mengambil cerita ini, yang berbahasa Indonesia dan berbahasa bugis dalam huruf latin, ada berbagai ketidaksesuaian antara terjemahan dan cerita dalam latin bugisnya, sehingga saya menyesuaikan keduanya dan menerjemahkannya kembali secara literal, mendekati arti yang sebenarnya dari kata-kata dalam bahasa bugis. Dalam tulisan ini, saya mereverse-translate ke aksara bugis/lontara dengan pengetahuan yang seadanya sehingga mungkin ada beberapa kesalahan yang sekiranya
Lambang bunyi Lontara, kembali dikenal sebagai aksara Bugis atau Makassar, adalah pelecok satu huruf tradisional Indonesia yang berkembang di Sulawesi Selatan. Abc ini terutama digunakan untuk menggambar bahasa Bugis, Makassar, dan Mandar. Tetapi dalam pekembangannya juga digunakan di wilayah lain yang asian pengaruh Bugis-Makassar sama dengan Bima di Sumbawa timur dan Ende di Flores dengan tambahan atau modifikasi. Abc ini yaitu turunan semenjak aksara Brahmi India melangkahi makelar aksara Kawi. Aksara Lontara aktif digunakan sebagai goresan sehari-hari maupun sastra Sulawesi Selatan setidaknya sejak abad 16 M hingga mulanya abad 20 M sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Sulawesi Selatan andai bagian dari muatan domestik, namun dengan penerapan yang terbatas dalam sukma sehari-perian. Baca juga Lontara’ Ibarat Sumber dalam Penulisan Sejarah di Sulawesi Selatan Berikut ini yakni panduan sumir dalam penulisan fonem Lontara. Fonem dasar indung surat Leter Lontara yakni sistem tulisan abugida yang terdiri berpangkal 23 aksara dasar. Sebagai halnya abjad Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu silabel dengan vokal inheren /a/ nan dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan fonem Lontara adalah kiri ke kanan. Secara tradisional fonem ini ditulis tanpa spasi antarkata scriptio continua dengan tanda baca yang paling kecil. Berikut ini merupakan huruf asal pada Lontara Terdapat empat aksara yang merepresentasikan suku kata pra-nasal, merupakan, ngka, mpa, nra, dan nca. Keempat aksara ini tak pernah digunakan dalam materi berbahasa Makassar dan yaitu salah satu ciri distingtif tulisan Bugis. Cuma, n domestik praktik penulisan tradisional Bugis-pula, keempat leter ini seringkali tidak dipakai dengan tegar, bahkan oleh penulis profesional. Diakritik anak asuh surat Diakritik merupakan keunggulan yang melekat plong abc utama untuk menyangkal vokal inheren fonem utama yang bersangkutan. Terwalak 5 diakritik n domestik aksara Lontara. Berikut ini merupakan anak manuskrip aksara Lontara dan contoh penggunaannya Baca juga Muhammad Salim, Penerjemah Lontara nan Menerima Penghargaan Satyalancana Peradaban Tanda baca Referensi tradisional Lontara ditulis tanpa spasi antarkata scriptio continua dan lain banyak menggunakan segel baca. Aksara Lontara diketahui saja memiliki pallawa bagaikan huruf angka. Pallawa berfungsi sebagaimana titik atau koma kerumahtanggaan huruf Latin dengan membagi wacana ke dalam penggalan yang mirip namun enggak sama dengan bait atau kalimat. Merek baca ini bisa ditemukan dalam semua skenario beraksara Lontara. Paradigma penulisan Aksara Lontara Bugis-Makassar secara tradisional tidak n kepunyaan diakritik pemati virama atau penanda sejenis yang mematikan vokal aksara dasar, sehingga lumrah ditemukan kata-kata yang tidak sepenuhnya dieja menirukan pelafalan kata yang bersangkutan. Lain adanya diakritik pemati ceria merupakan pelecok satu alasan utama banyaknya kerancuan kerumahtanggaan referensi Lontara tolok. Artikel Tercalit
Sehinggamasyarakat Bugis-Makssar khususnya, memiliki beragam jeni tari-tarian seperti misalnya tari gandrang bulo, tari pakarena, tari ma'badong, tari pa'gellu, tari kipas dan tari paduppa. Jenis tarian yang di sebut terakhir merupakan tarian asli Bugis-Makassar yang di selenggarakan untuk menyambut seorang, baik dalam pesta adat ataupun acara
Penggunaan sumber dalam belajar sejarah menjadi sangat penting karena sejarah merekonstruksi peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lalu. Untuk merekonstruksi kembali peristiwa-peristiwa masa lampau menjadi suatu kisah diperlukan adanya sumber sejarah, bukti, serta fakta-fakta sejarah. Informasi yang diperoleh dari data atau sumber sejarah adalah keterangan sekitar apa yang terjadi, siapa pelakunya, di mana peristiwa itu terjadi dan kapan peristiwa itu sumber sejarah dapat diperoleh informasi yang menjelaskan tentang terjadinya suatu peristiwa tertentu. Seluruh keterangan inilah yang dijadikan dasar untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu menjadi sebuah karya sejarah. Oleh karena itu karya sejarah merupakan sebuah karya nonfiksi, tanpa adanya sumber maka tidak ada sejarah, sebuah kisah yang ditulis tanpa fakta sejarah atau sumber yang jelas maka itu disebut karya sejarah adalah segala sesuatu yang berwujud dan tidak berwujud serta berguna bagi penelitian sejarah, baik itu berupa sumber lisan, berupa benda atau artefak peninggalannya, serta sumber tertulis yang biasa kita kenal sebagai kronik atau juga Seperti Inilah Metode dalam Penelitian dan Penulisan SejarahManuskrip adalah sebuah tulisan tangan yang telah ditulis oleh orang terdahulu yang masih ada sampai saat ini. Di Indonesia ada banyak sekali manuskrip-manuskrip kuno yang dijadikan sumber dalam penulisan sejarah. Terkhusus di Sulawesi Selatan, manuskrip kuno itu banyak ditemukan dan dipergunakan sebagai sumber sejarah primer, manuskrip itu disebut dengan nama Lontara’.Dalam tulisan Prof. Mr. DR. Andi Zainal Abidin yang berjudul “Notes on the Lontara’ as Historical Sources,” dimuat dalam majalah Indonesia, No. 12 Oktober, 1971, Cornell Modern Indonesia Project, Ithaca, New York, dijelaskan macam-macam Lontara’ yang di kenal khususnya masyarakat Bugis-Makassar serta Mandar yang mengandung berbagai bidang ilmu pengetahuan kuno seperti sejarah termasuk sejarah hukum adat, filsafat dan pandangan hidup, pertanian, kebudayaan, obat-obatan, hukum adat termasuk peradilan, dan lontara’ karena manuskrip ini ditulis menggunakan aksara Lontara’, dinamakan aksara lontara’ karena dahulu sebelum adanya kertas hanya dituliskan di atas daun Lontar dalam bahasa Bugis disebut lontara’, sejenis palem.Lontara’. Foto lontara’ kadang juga disebut dengan istilah sure’ atau dalam bahasa Indonesia disebut surat, suatu istilah yang lebih tua dari pada lontara’. Pada umumnya semua lontara’ atau sure’ tidak mencantumkan nama penulisnya. Tidak juga dijelaskan apa maksud penulisan tersebut yang lazim terdapat pada kalimat-kalimat pertama lontara’-lontara’ lain di Sulawesi juga 8 Kitab Kuno di Nusantara yang Sering Dijadikan Sumber Penulisan SejarahTidak dicantumkannya nama penyusun atau penulisnya karena kemungkinan penulis tidak mau mencari popularitas. Penulis atau penyusun lontara’ hanya sering diketahui berdasarkan keterangan ahli lontara’. Namun sayangnya ada kelemahan dalam penggunaan lontara’ ini sebaga sumber sejarah dikarenakan tidak adanya penulisan angka tanggal/tahun yang tertera pada kronik lontara’, baik itu tanggal penulisan maupun tanggal peristiwa yang dituliskan di dalamnya. Adapun beberapa jenis-jenis lontara’ yang dipergunakan oleh masyarakat di Sulawesi Selatan sebagai berikut1. Lontara’ Attoriolong Bugis, Pattoriolong Makassar. Merupakan kronik orang dahulu yang mengandung fakta sejarah atau catatan mengenai suatu peristiwa penting di masa lalu. Hampir setiap kerajaan-kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan memiliki Lontara’ Attoriolong masing-masing, keberadaan Lontara’ Attoriolong di era sekarang sangat membantu para peneliti sejarah untuk menuliskan sejarah di Sulawesi Lontara’ Bilang Lontara ini menjelaskan tentang nama-nama hari dan hari-hari yang dianggap baik menurut kepercayaan kuno masyarakat Sulawesi Lontara’ Ade’ Lontara’ ini merupakan kronik adat kebiasaan, contoh lontara jenis ini di daerah yang berbahasa Bugis disebut lontara’ Latoa, sementara di daerah yang berbahasa Makassar disebut Lontara’ Ulu Ada Bugis, Ulu Kanaya Makassar Lontara’ ini merupakan rumus perjanjian antara kerajaan di Sulawesi Selatan maupun perjanjian dengan negara Lontara’ Allopi-loping Lontara’ ini berisi himpunan hukum adat pelayaran, salah satu yang cukup populer yaitu lontara’ Allopi-loping yang ditulis oleh Lontara’ Pangnguriseng Lontara ini berisi tentang silsilah raja-raja atau para bangsawan di Sulawesi Lontara’ Kotika Berbeda dengan lontara’ Bilang yang menjelaskan tentang nama-nama hari dan hari-hari yang dianggap baik, lontara’ Kotika ini hanya menjelaskan waktu-waktu baik dan buruk dalam sehari selama satu pekan.
Samannarita tennang pikkiriki, tenna nawa-nawai adaE massu pole ri timunna. Di sebuah negeri ada seorang anak laki-laki yang bernama La Tarenrek yang begitu pandai berbicara. Jika ada orang yang berbicara dengannya tentang suatu masalah, niscaya dijawabnya. Seolah-olah, kata-katanya keluar dari mulutnya tanpa berfikir ataupun cemas.
ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ ᨑᨗ ᨕᨚᨒᨚ ᨕᨛᨃ ᨔᨙᨉᨗ ᨓᨛᨈᨘ ᨊᨉᨙ ᨆᨊᨛ ᨊᨄᨚᨒᨙ ᨕᨔᨙᨊ ᨄᨒᨕᨚ ᨑᨘᨆᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨆᨀᨘᨕᨊᨑᨚ ᨊᨆᨄᨛᨉᨗ ᨆᨊᨛ ᨈᨕᨘ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ᨞ ᨓᨛᨈᨘ ᨐᨛᨑᨚ ᨕᨑᨘ ᨆᨄᨑᨙᨈ ᨑᨗᨕᨔᨛᨂᨙ 'ᨄᨍᨘ ᨒ ᨈᨛᨋᨗ ᨔᨛᨔᨘ ᨄᨛᨈ ᨈᨚᨒᨕᨘ ᨑᨗᨈᨛᨒ ᨕ ᨄᨍᨘ ᨒᨒᨚᨕᨙ'᨞ ᨕᨗᨐᨈᨚᨊᨑᨚ ᨕᨑᨘ ᨄᨆᨘᨒ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ᨞ ᨑᨗᨔᨙᨕᨘᨓᨕᨙ ᨓᨛᨊᨗ ᨕᨛᨃ ᨈᨕᨘ ᨆᨛᨊᨗᨄᨗ ᨑᨗ ᨒᨗᨔᨛᨊ ᨔᨕᨚᨑᨍ ᨕᨙ ᨕᨗᨐᨊᨑᨗᨈᨘ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ'᨞ ᨊᨕᨗᨐ ᨑᨚ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨊᨕᨗᨈ ᨕᨛᨃ ᨈᨕᨘ ᨆᨔᨘᨑᨘᨅᨛ ᨄᨚᨕᨂᨗ ᨆᨀᨛᨉ ᨊᨕᨙᨃᨒᨗᨂᨊ ᨕᨑᨘᨂᨙ ᨕᨗᨊᨗᨄᨗᨊ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ' ᨊᨄᨉᨛᨄᨘᨂᨛᨊᨗ ᨈᨚᨕᨌᨊ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ᨞ ᨊ ᨔᨗᨃᨛᨑᨘᨕ ᨊᨗ ᨆᨀᨛᨉ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨕᨛᨔᨚ ᨍᨘᨆ ᨕᨙ ᨆᨕᨙᨒᨚ ᨒᨕᨚ ᨑᨗᨕᨒ ᨑᨀᨒ ᨊ ᨊᨗᨄᨗ ᨕᨙ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ'᨞ ᨊᨉᨄᨗ ᨊᨗ ᨓᨛᨈᨘ ᨍᨘᨆ ᨄᨉ ᨒᨕᨚ ᨈᨚᨂᨛ ᨊᨗ ᨄᨔᨘᨑᨚᨊ ᨕᨑᨘ ᨕᨙ ᨊᨕᨗᨕ ᨆᨀᨓᨛ ᨊ ᨅᨘᨒᨘ ᨕᨙ ᨑᨚ ᨉᨙᨋᨙ ᨑᨗᨄᨒᨙᨌᨙ ᨑᨗᨕᨚᨒᨚᨊᨗ 'ᨄᨘᨕ ᨓᨈᨚᨕ'᨞ ᨆᨈᨛᨑᨘ ᨆᨙᨋᨙ ᨑᨗ ᨌᨚᨄᨚᨊ ᨅᨘᨒᨘ ᨕᨛᨃ ᨈᨚᨂᨛ ᨊ ᨊᨕᨗᨈ ᨑᨀᨒ ᨆᨉᨙᨉᨙ ᨒᨚᨁ ᨒᨚᨁᨊ᨞ ᨁᨉ ᨊᨕᨗᨈ ᨆᨊᨛ ᨊᨗ ᨈᨕᨘ ᨆᨕᨙᨁ ᨕᨙ᨞ ᨊᨔ ᨆᨈᨘᨑᨘᨔᨗᨊᨗ ᨄᨉ ᨆᨀ ᨕᨗ ᨊᨕᨗᨊᨄ ᨊᨄᨒᨙᨌᨙ ᨊᨗ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨕᨚᨋᨚ ᨆᨌᨀ ᨕᨙ᨞ ᨄᨉ ᨆᨄᨑᨙᨔᨊᨗ ᨀᨘᨕᨑᨗᨈᨘ᨞ ᨆᨂ ᨆᨊᨛᨊᨗ ᨈᨕᨘ ᨆᨕᨙᨁ ᨕᨙ ᨆᨗᨈᨕᨗ ᨊᨔᨅ ᨕᨗᨐᨑᨚ ᨑᨀᨒ ᨕᨙ ᨉᨙᨁᨁ ᨄᨈᨛ ᨕᨍᨘ ᨈᨔᨗᨄᨚᨒᨚ ᨄᨚᨒᨚ᨞ ᨔᨆᨊ ᨑᨗᨈ ᨕᨍᨘ ᨈᨛᨆᨀ ᨑᨍᨊ ᨑᨗᨓᨗᨋᨘ ᨆᨏᨍᨗ ᨑᨀᨒ᨞ ᨑᨗᨓᨛᨈᨘ ᨑᨗᨈᨗᨓᨗ ᨊ ᨑᨀᨒ ᨕᨙ ᨑᨚ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ ᨈᨛᨆᨀ ᨕᨙᨁᨊ ᨈᨕᨘ ᨉᨘᨄ ᨕᨗ᨞ ᨄᨉ ᨈᨛᨈᨚ ᨑᨗ ᨓᨗᨑᨗ ᨊ ᨒᨒᨛ ᨕᨙ᨞ ᨊᨄᨉᨗ ᨊ ᨑᨗᨔᨛᨁᨙᨑᨗ ᨑᨗᨄᨈᨘᨒᨗᨒᨗ ᨑᨗ ᨀᨇᨚ ᨕᨙᨑᨚ᨞ ᨑᨗᨄᨒᨙᨌᨙ ᨑᨗᨕᨚᨒᨚ ᨕᨗ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ' ᨔᨗᨅᨓ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨅᨗᨔᨘ ᨕᨙ᨞ ᨆᨀᨚᨊᨘᨈᨚᨑᨚ ᨆᨈᨘᨒᨗᨒᨗᨊ ᨊᨈᨄ ᨄᨚᨒᨙ ᨅᨚᨔᨗ ᨒᨚᨄᨚ ᨕᨙ᨞ ᨆᨀᨛᨉ ᨊᨗ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ' ᨕᨗᨐᨊ ᨕᨙ ᨈᨋ ᨆᨕᨙᨒᨚ ᨊᨗ ᨄᨚᨒᨙ ᨕᨔᨙ ᨑᨗ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ᨞ ᨄᨘᨑ ᨆᨊᨛ ᨊᨗ ᨑᨗᨕᨈᨘᨒᨗᨒᨗ ᨀᨇᨚ ᨕᨙ ᨑᨗᨈᨗᨓᨗ ᨊᨗ ᨑᨀᨒ ᨕᨙ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨔᨙᨉᨗ ᨕᨙ ᨅᨚᨒ ᨒᨚᨄᨚ᨞ ᨅᨚᨒ ᨈᨋᨙ᨞ ᨕᨗᨐ ᨑᨚ ᨅᨚᨒᨕᨙ ᨕᨛᨃ ᨁᨑᨙ ᨄᨈᨄᨘᨒᨚ ᨕᨒᨗᨑᨗᨊ᨞ ᨈᨔᨙᨉᨗ ᨕᨙ ᨕᨒᨗᨑᨗ ᨈᨛᨆᨀ ᨑᨍᨊ᨞ ᨔᨗᨅᨓ ᨈᨛᨈᨛ ᨆᨛᨈᨚᨕᨗ ᨆᨒᨙᨅᨘ ᨄᨉ ᨈᨚᨔᨀ ᨕᨍᨘ ᨈᨘᨕᨚ ᨕᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨑᨗᨒᨒᨛᨇᨚᨒ ᨑᨗ ᨕᨙᨅᨘ ᨑᨚᨕᨂᨗ ᨑᨛᨋᨗ ᨒᨓ ᨈᨛᨂ᨞ ᨕᨛᨃ ᨈᨛᨒᨘ ᨑᨛᨋᨗ ᨒᨓ ᨈᨛᨂᨊ᨞ ᨊᨔᨅ ᨕᨗᨐᨑᨚ ᨅᨚᨒᨕᨙ ᨄᨈ ᨒᨈᨛ ᨕᨗ᨞ ᨊᨄᨊᨗ ᨕᨛᨃᨈᨚ ᨑᨀᨙᨕᨊ᨞ ᨀᨚᨊᨗᨑᨚ ᨑᨗᨕᨔᨛ ᨊ ᨑᨒᨙᨕ ᨕᨙ ᨕᨚᨋᨚᨊ ᨄᨀᨀᨔᨊ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ' ᨔᨗᨅᨓ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨌᨒᨅᨕᨗ ᨕᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨕᨚᨋᨚᨊ ᨑᨀᨒ ᨕᨙ ᨀᨚᨕᨗ ᨒᨈᨛ ᨀᨆᨗᨊ ᨑᨗ ᨆᨘᨋᨗ ᨕᨙ᨞ ᨀᨚᨈᨚᨆᨗᨑᨚ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ' ᨆᨈᨗᨋᨚ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨑᨀᨒ ᨕᨙᨑᨚ ᨑᨗᨈᨛᨒ ᨈᨚᨊᨗ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ'᨞ ᨑᨗᨄᨉᨙᨌᨙᨂᨗ ᨕᨚᨋᨚᨊ᨞ ᨑᨗᨕᨛᨅᨘᨑᨛ ᨅᨚᨌᨚ᨞ ᨄᨉ ᨈᨚᨔᨖ ᨈᨕᨘ ᨅᨗᨕᨔ ᨕᨙ᨞ ᨒᨈᨛ ᨆᨀ ᨉᨘᨕ ᨕᨙ ᨄᨚᨒᨙ ᨑᨗ ᨆᨘᨋᨗ ᨊᨕᨚᨋᨚ ᨕᨗ ᨅᨗᨔᨘ ᨆᨌᨕᨙ ᨆᨍᨚᨁᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨒᨈᨛ ᨆᨀ ᨈᨛᨒᨘ ᨕᨙ ᨊᨕᨚᨋᨚ ᨕᨗ ᨌᨒᨅᨕᨗ ᨊᨄ ᨕᨙ ᨆᨁᨘᨑᨘ ᨆᨍᨚᨁᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨒᨈᨛ ᨆᨚᨋᨗ ᨔᨒᨗᨓᨛ ᨕᨙ ᨑᨗᨈᨑᨚᨂᨛ ᨕᨗ ᨈᨕᨘ ᨄᨚᨒᨙ ᨓᨙ᨞ ᨑᨗᨄᨚᨏᨚᨀᨗ ᨌᨑᨗᨈ ᨕᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨕᨑᨚ ᨉᨙᨋᨑ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ' ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈ ᨑᨀᨒ ᨑᨗ ᨒᨕᨗᨊ ᨕᨙ ᨈᨚᨄ ᨄᨕᨗᨓᨛ ᨄᨀᨀᨔ᨞ ᨄᨀᨀᨔ ᨔᨀᨛ ᨑᨘᨄᨛᨊ ᨑᨗᨄᨔᨘ ᨕᨗ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨆᨕᨙᨅᨘᨀᨗ ᨕᨘᨄᨌᨑ ᨕᨘᨄᨌᨑ ᨄᨒᨗᨒᨗ᨞ ᨊᨕᨗᨕᨑᨚ ᨕᨘᨄᨌᨑ ᨄᨒᨗᨒᨗ ᨕᨙ ᨑᨗᨄᨚᨁᨕᨘ ᨕᨙ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨆᨂᨚᨒᨚᨊᨗ ᨅᨑᨛ ᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨕᨚᨅᨗᨊᨗ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ'᨞ ᨄᨘᨁᨓᨊ ᨅᨗᨔᨘᨕᨙ᨞ ᨅᨗᨕᨔ ᨆᨛᨈᨚ ᨈᨗᨕᨔᨛ ᨔᨋᨚ᨞ ᨕᨗᨕ ᨆᨀᨚᨕᨙ ᨑᨗᨕᨔᨛᨂᨗ 'ᨔᨋᨚ ᨔᨚᨀᨚ'᨞ ᨔᨋᨚ ᨕᨙ ᨉᨙᨋᨙ ᨄᨈᨛᨈᨘ ᨕᨙ ᨓᨛᨈᨘ ᨆᨕᨙᨒᨚᨊ ᨆᨄᨆᨘᨒ ᨍᨚᨄ 'ᨕᨘᨄᨌᨑ ᨄᨒᨗ'᨞ ᨅᨗᨕᨔᨊ ᨑᨗᨈᨘ ᨄᨆᨘᨒᨕᨗ ᨓᨛᨈᨘ ᨕᨔᨙᨑ ᨕᨚᨇᨚᨊ ᨀᨙᨈᨛ ᨕᨙ᨞ ᨕᨗᨕᨑᨙᨁ ᨊ ᨕᨔᨙᨑ ᨈᨛᨒᨅᨘᨊ ᨀᨙᨈᨛ ᨕᨙ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨆᨕᨙᨒᨚ ᨑᨗᨄᨊᨚ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ' ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨌᨒᨅᨕᨗ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨒᨒᨛ ᨄᨚᨒ ᨄᨉ ᨆᨄᨘᨕᨔ ᨆᨊᨛ ᨕᨗ ᨈᨛᨒᨘ ᨕᨛᨔᨚ ᨈᨛᨒᨘ ᨄᨛᨊᨗ᨞ ᨔᨗᨅᨓ ᨄᨕᨗᨊᨛ ᨉᨙᨈᨚ ᨓᨛᨉᨗ ᨆᨈᨗᨋᨚ᨞ ᨑᨗᨕᨉᨚᨍ ᨕᨗ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ'᨞ ᨈᨛᨒᨘ ᨕᨛᨔᨚ ᨈᨛᨒᨘ ᨄᨛᨊᨗ ᨆᨍᨚᨁᨙ ᨌᨒᨅᨕᨗ ᨕᨙ ᨔᨗᨅᨓ ᨉᨙᨊᨓᨛᨉᨗ ᨀᨘᨑ ᨄᨈᨄᨘᨒᨚ ᨌᨒᨅᨕᨗ᨞ ᨑᨗᨒᨒᨛᨊ ᨕᨍᨚᨁᨙᨀᨛ ᨕᨙ ᨊᨑᨚ ᨆᨄᨆᨘᨒᨊᨗ ᨑᨗᨄᨊᨚ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ'᨞ ᨑᨗᨄᨒᨙᨌᨙ ᨑᨗᨕᨚᨒᨚᨊᨗ ᨔᨋᨚ ᨕᨙ᨞ ᨕᨗᨕᨆᨘᨈᨚ ᨑᨗᨕᨔᨛ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ᨞ ᨆᨂᨚᨒᨚᨊᨗ ᨄᨘᨕ ᨓᨈᨚᨕ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨊᨕᨗᨊᨄ ᨆᨀᨙᨒᨚ᨞ ᨑᨗᨕᨌᨚᨓᨙᨑᨗ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨌᨒᨅᨕᨗ ᨕᨙ ᨕᨗᨕ ᨆᨊᨛ᨞ ᨕᨙᨒᨚ ᨄᨆᨘᨒ ᨕᨙ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨕᨙᨒᨚ ᨄᨈᨛᨉᨘ 'ᨕᨚᨇ' ᨑᨗᨅᨒᨗ ᨄᨚᨒᨙ ᨑᨗᨌᨒᨅᨕᨗ ᨒᨕᨗ ᨕᨙ 'ᨅᨈᨑᨗ'᨞ ᨆᨉᨙᨌᨙᨂ ᨕᨗ ᨄᨉ ᨆᨘᨕᨀᨒᨗᨂ ᨕᨙᨒᨚᨊ ᨅᨗᨔᨘ ᨊᨔᨛ ᨕᨗ ᨅᨗᨌᨑ ᨈᨚ ᨑᨗ ᨒᨂᨗ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨕᨙᨒᨚ ᨄᨈᨛᨉᨘ ᨕᨑᨍ ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨑᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨛᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨛᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨛᨈᨘ ᨑᨗ ᨕᨒᨛ ᨒᨘᨓᨘ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨓᨈ ᨄᨑᨙ᨞ ᨒᨛᨄᨛᨕᨗ ᨕᨙᨒᨚᨊ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨉᨙᨋᨙ ᨈᨄ ᨑᨗᨅᨒᨗ ᨊᨗ ᨄᨚᨒᨙ ᨄᨈᨄᨘᨒᨚ ᨕᨙ ᨅᨗᨔᨘ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨈᨚᨀᨚᨀᨚ ᨆᨘᨈᨘᨒᨙ ᨈᨘᨒᨙ ᨞ ᨆᨘᨈᨘᨒᨙ ᨈᨘᨒᨙ ᨈᨗᨆᨍᨘ ᨞ ᨆᨘᨕᨕᨗᨕᨔᨛ ᨕᨔᨛ ᨀᨙᨊᨙ ᨞ ᨀᨘᨔᨗᨒᨄᨛ᨞ ᨊᨘᨔᨗᨒᨑᨛ ᨒᨑᨛ ᨀᨙᨊᨙ ᨞ ᨆᨘᨔᨗᨊᨚᨑᨛ ᨆᨘᨔᨗᨊᨚᨑᨛ ᨞ ᨊᨀᨒᨙᨄᨘ ᨒᨚᨒᨄᨙ ᨞ ᨒᨚᨒᨚᨂᨙ ᨊᨘᨌᨚᨀᨚᨂᨗᨐ ᨞ ᨒᨗᨄᨘ ᨆᨑᨚᨋᨘᨔᨗᨐᨚ᨞ ᨊᨘᨒᨙᨈᨘ ᨑᨗ ᨈᨚᨇᨚ ᨈᨗᨀ ᨞ ᨊᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨔᨓ ᨆᨛᨁ ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨊᨒᨙᨈᨘ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨛᨈᨘ ᨑᨗ ᨈᨊ ᨈᨙᨀᨚ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨓᨙᨓ ᨑᨗᨐᨘ ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨑᨗ ᨄᨑᨈᨗᨓᨗ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨈᨚᨍ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨑᨗ ᨄᨑᨈᨗᨓᨗ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨕᨘᨍᨘ ᨒᨍᨘ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨑᨗ ᨅᨚᨈᨗ ᨒᨂᨗ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨑᨘᨕ ᨒᨙᨈᨙ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨑᨗ ᨓᨗᨑᨗ ᨒᨂᨗ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨙ ᨑᨗ ᨅᨚᨀᨚ ᨅᨈᨑ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨔᨒᨗᨓᨙ ᨒᨂᨗ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨑᨘᨕ ᨒᨙᨈᨙ᨞ ᨈᨛᨉᨘᨀ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨞ ᨁᨚᨍᨙᨂ ᨉᨙᨋᨙ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨞ ᨆᨒᨙᨈᨘ ᨑᨗ ᨕᨒᨙ ᨆᨓ ᨞ ᨆᨊᨗᨂᨚ ᨑᨗ ᨕᨒᨙ ᨒᨗᨊᨚ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨄᨘᨑ ᨊᨗ ᨕᨙᨒᨚ ᨊ ᨅᨗᨔᨘ ᨕᨙ ᨆᨕᨙᨁ ᨕᨙᨑᨚ ᨉᨙᨋᨙ ᨊᨔᨚᨇᨘᨔᨗ ᨄᨕᨗᨆᨛ 'ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ' ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨈᨚᨀᨚᨊᨗ ᨆᨊᨘᨑᨘ ᨕᨙ ᨞ ᨈᨛᨒᨊᨗ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨞ ᨈᨁᨗᨒᨗᨀᨗᨒᨗ ᨑᨗ ᨈᨚᨒᨚ ᨞ ᨊᨕᨘᨒᨙᨈᨘ ᨑᨗ ᨈᨘᨒᨉᨚ ᨞ ᨈᨈᨙᨑᨙ ᨉᨗᨕᨉ ᨅᨗᨔᨘ ᨞ ᨆᨓᨀ ᨑᨗ ᨄᨘᨂᨚ ᨄᨘᨂᨚ ᨞ ᨉᨙᨋᨙ ᨈᨒᨁ ᨈᨒᨁ ᨑᨗ ᨒᨂᨗ ᨞ ᨆᨙᨋᨛ ᨈᨚᨍ ᨑᨗ ᨅᨈᨑ ᨞ ᨔᨒᨆ ᨑᨗ ᨆᨘᨒ ᨍᨍᨗ ᨞ ᨄᨛᨉᨗ ᨕᨙ ᨑᨗᨆᨘᨒ ᨌᨄᨙᨑᨙ ᨞ ᨆᨕᨙᨌᨚᨒᨚᨀ ᨑᨗ ᨔᨆᨒᨙ ᨞ ᨆᨉᨄᨙ ᨉᨄᨙ ᨌᨀᨙᨒ ᨞ ᨆᨈ ᨑᨗ ᨈᨚᨍ ᨕᨌᨀᨒᨗ ᨞ ᨀᨘᨔᨙᨑᨚ ᨀᨘᨉᨚᨕᨂᨗ ᨞ ᨀᨘᨔ ᨓᨔᨛᨀᨗᨕᨂᨗ ᨞ ᨆᨄᨍᨊᨙ ᨈᨚ ᨑᨗ ᨒᨂᨗ ᨞ ᨆᨌᨘᨅᨙ ᨈᨚ ᨑᨗ ᨅᨈᨑ᨞ ᨕᨗᨉᨗᨑᨚ ᨕᨗᨊ ᨇᨗᨔᨘᨔᨘ ᨕᨙ ᨞ ᨈᨚᨈᨚ ᨕᨊᨘᨑᨘ ᨕᨙᨂᨂᨙ ᨞ ᨅᨗᨕᨔ ᨑᨗ ᨓᨑᨘ ᨕᨙᨂᨂᨙᨉᨙ ᨞ ᨈᨚ ᨊᨀᨛᨉ ᨉᨙᨓᨈ ᨕᨙ᨞ ᨆᨄᨂᨚ ᨔᨗᨕ ᨔᨉᨈ ᨞ ᨆᨄᨙᨔ ᨄᨈᨗᨕᨂᨈ ᨞ ᨈᨘᨑᨘᨕᨗ ᨄᨄᨙᨂᨂᨙ᨞ ᨆᨉᨙᨀᨗ ᨕᨔᨑ ᨕᨙ ᨞ ᨔᨗᨀᨗᨑᨗ ᨄᨘᨂᨚ ᨄᨘᨂᨚ ᨕᨙ ᨞ ᨕᨒᨚᨆᨀᨙᨂᨂᨙ ᨞ ᨑᨕᨘ ᨀᨍᨘ ᨕᨅᨘᨔᨘᨂᨙ᨞ ᨆᨄᨀᨚᨊᨗᨑᨚ ᨕᨙᨒᨚᨊ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨓᨚᨈᨚ ᨊᨗ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨑᨗᨄᨄᨚᨒᨙᨊᨗ ᨆᨈᨚᨕ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ ᨔᨗᨅᨓ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ᨞ ᨆᨄᨆᨘᨒᨕᨗ ᨆᨈᨚᨕ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ ᨆᨍᨚᨁᨙ ᨔᨙᨑᨙ ᨔᨙᨑᨙ᨞ ᨆᨄᨀᨗᨈᨕᨘ ᨈᨕᨘ ᨑᨗᨈ᨞ ᨄᨘᨑᨕᨗᨑᨚ ᨆᨈᨑᨘ ᨈᨄ ᨑᨗᨔᨙᨒᨙ ᨑᨗᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨆᨍᨚᨁᨙ ᨔᨙᨑᨙ ᨔᨙᨑᨙ ᨊᨌᨘᨕᨙᨑᨗᨓᨗ ᨕᨙᨒᨚ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨕᨚ..... ᨑᨘᨓᨙ ᨕᨙᨕᨙᨕᨙ ᨞ ᨈᨀᨊ ᨅᨙᨒᨊᨕᨚ ᨕᨗᨍᨚᨓᨙ ᨞ ᨆᨗᨌᨘ ᨆᨗᨌᨘ ᨒᨂᨗ ᨕᨗᨍᨚᨕᨙ ᨞ ᨆᨒᨘᨔᨛᨀᨗᨐᨚ ᨅᨈᨑ ᨞ ᨔᨗᨕᨒ ᨕᨙ ᨄᨉ ᨅᨕᨗᨔᨛ ᨞ ᨆᨀᨈᨘ ᨕᨙ ᨄᨉ ᨓᨒᨙᨊ ᨞ ᨕᨚᨕᨚᨕᨚ ᨑᨘᨓᨙ ᨕᨙ......᨞ ᨕᨙᨒᨚᨊ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨑᨗᨄᨀᨘᨒᨗ ᨀᨘᨒᨗ ᨕᨗ ᨁᨃᨊ ᨓᨙᨀ ᨈᨛᨒᨘ᨞ ᨄᨘᨑᨊᨗ ᨕᨙᨒᨚ ᨊ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨊᨍᨛᨄᨘᨕᨗᨊᨗ ᨆᨀᨛᨉ ᨕᨙ ᨆᨚᨈᨚ ᨊᨗᨑᨚ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨕᨙᨅᨘᨑᨛᨊᨗ ᨔᨋᨙᨔᨛ᨞ ᨆᨉᨛᨄᨘᨂᨛ ᨆᨊᨛᨊᨗ ᨈᨕᨘ ᨆᨕᨙᨁ ᨕᨙ᨞ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨄᨒᨕᨚ ᨑᨗᨆ ᨕᨙ᨞ ᨄᨉᨀ ᨕᨙ᨞ ᨈᨚ ᨆᨄᨑᨙᨈ ᨕᨙ᨞ ᨕᨈ ᨄᨉ ᨒᨕᨚ ᨆᨊ ᨆᨒᨙᨇ ᨕᨘᨓ ᨕᨙ᨞ ᨄᨘᨑᨊᨗᨑᨚ ᨑᨗᨔᨛᨆᨙ ᨊᨗ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨄᨚᨒᨙ ᨑᨗ ᨄᨚᨕ ᨆᨈᨚᨕ᨞ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨈᨕᨘ ᨆᨕᨙᨁ ᨕᨙᨑᨚ ᨄᨉ ᨌᨛᨆᨙ ᨆᨊᨛᨊᨗ ᨑᨗᨕᨓ ᨕᨑᨍ ᨕᨙᨑᨚ᨞ ᨍᨍᨗ ᨊᨌᨛᨆᨙ ᨕᨗ ᨓᨕᨙ ᨌᨛᨆᨙ ᨊ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨄᨘᨑ ᨊᨗ ᨌᨛᨆᨙ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨑᨗᨉᨚᨀᨚ ᨊᨗ ᨉᨕᨘ ᨕᨘᨈᨗ᨞ ᨕᨗᨕᨑᨚ ᨉᨕᨘ ᨕᨘᨈᨗ ᨕᨙ ᨄᨚᨒᨙ ᨑᨗ ᨀᨇᨚ ᨈᨀᨘ᨞ ᨌᨛᨇ ᨕᨙ᨞ ᨊ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨄᨘᨑ ᨊᨗ ᨑᨗ ᨉᨚᨀᨚ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨄᨉ ᨒᨕᨚ ᨆᨊᨛ ᨊᨗ ᨆᨒ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ᨞ ᨊᨔᨛ ᨈᨕᨘ ᨕᨙ ᨆᨒᨛᨀᨛ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ᨞ ᨊᨕᨗᨕ ᨑᨗᨕᨔᨛ ᨕᨙ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨄᨚ ᨕᨘᨈᨗ ᨑᨗᨕᨒ ᨒᨚᨒᨚ ᨕᨘᨑᨛ ᨔᨗᨅᨓ ᨉᨕᨘᨊ ᨕᨗᨐᨆᨊᨛ᨞ ᨊᨕᨗᨐᨑᨚ ᨉᨙᨋᨙ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ ᨕᨙ ᨕᨊᨘ ᨊᨄᨔᨉᨗᨕ ᨆᨙᨆᨛ ᨀᨄᨒ ᨀᨇᨚ ᨈᨗᨇᨚᨑᨚᨂᨛ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨔᨙᨉᨗ ᨀᨇᨚ ᨑᨗ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ᨞ ᨄᨚ ᨕᨘᨈᨗ ᨕᨙ ᨉᨙᨋᨙ ᨑᨚ ᨑᨗᨁᨈᨘᨂᨗ ᨔᨗᨅᨈᨘ ᨄᨊᨔ ᨆᨈᨔ᨞ ᨈᨋᨙᨊ ᨀᨗᨑ ᨀᨗᨑ ᨔᨗᨑᨛᨄ ᨞ ᨉᨘᨕ ᨀᨒᨘᨀᨘ᨞ ᨕᨛᨃ ᨈᨄ ᨄᨕᨗᨆᨛ ᨄᨐᨚᨔᨚᨊ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨈᨀᨙ ᨅᨘᨅᨘᨂᨛ᨞ ᨕᨚᨈ᨞ ᨈᨛᨒᨙ᨞ ᨕᨑᨔᨚ᨞ ᨄᨚ ᨆᨒᨗ ᨆᨒᨗ᨞ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨕᨗᨕᨆᨊᨛ ᨕᨙ ᨑᨗᨕᨔᨗᨕᨚᨑᨛᨂᨗ ᨀᨚᨑᨗᨄᨚ ᨕᨘᨈᨗ ᨕᨙ ᨕᨗᨕᨊᨑᨚ ᨑᨗᨕᨔᨛ ᨄᨚ ᨕᨘᨈᨗ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ᨞ ᨕᨗᨕᨊᨑᨚ ᨉᨙᨋᨙ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ ᨕᨙ ᨑᨗᨕᨙᨅᨑᨚᨀᨚᨂᨗ ᨔᨙᨉᨗ ᨈᨚᨆᨈᨚᨕ ᨆᨌᨚᨕ ᨒᨉᨛᨊᨗ ᨕᨘᨆᨘᨑᨘᨊ᨞ ᨔᨗᨅᨓ ᨆᨒᨔ ᨈᨚᨕᨗ ᨄᨕᨗᨆᨛ᨞ ᨊᨈᨍᨛ ᨆᨊᨗ ᨕᨆᨈᨙᨂᨛᨊ᨞ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ ᨉᨙᨋᨙ ᨑᨗᨄᨔᨗᨉᨛᨄᨙ ᨕᨗ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ'᨞ ᨄᨘᨑᨕᨗᨑᨚ ᨊᨀᨙᨒᨚᨊᨗ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨊᨄ ᨑᨗᨕᨌᨚᨕᨙᨑᨗ ᨄᨈᨄᨘᨒᨚ ᨅᨗᨔᨘ᨞ ᨕᨙᨒᨚ ᨊᨑᨚ ᨄᨉ ᨈᨚᨔ ᨕᨙᨒᨚᨊ ᨓᨛᨈᨘ ᨑᨗᨈᨛᨉᨘᨊ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ'᨞ ᨊᨕᨙᨀᨗᨕ ᨊᨈᨅᨕᨗ ᨕᨙᨒᨚ ᨆᨛᨒᨉᨚᨕ ᨑᨗ ᨔᨛᨊᨕᨙ᨞ ᨔᨑᨙᨀᨘᨕᨆᨛᨂᨗ ᨕᨍ ᨊᨑᨗᨔᨙᨔ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ ᨑᨗᨒᨒᨛ ᨕᨛᨆᨉᨛᨂᨊ᨞ ᨊᨄ ᨒᨛᨄᨛᨊ ᨕᨙᨒᨚᨊ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨈᨛᨈᨚᨊᨗ ᨆᨈᨚᨕ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ ᨊᨑᨛᨉᨘᨕᨗ ᨄᨛᨉᨊ ᨊᨈᨘᨅᨂᨗ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ᨞ ᨕᨗᨕᨊᨑᨚ ᨑᨗᨕᨀᨒᨛᨅᨑᨀᨗ ᨈᨕᨘ ᨆᨈᨙ᨞ ᨔᨑᨙᨀᨘᨕᨆᨛᨂᨗ ᨕᨍ ᨊᨑᨗᨔᨙᨔ ᨑᨗᨒᨒᨛ ᨕᨂᨉᨂᨛᨊ᨞ ᨊᨄ ᨊᨕᨙᨒᨕᨘᨈᨚ ᨕᨗ ᨑᨗ ᨉᨙᨓᨈ ᨕᨙ ᨔᨑᨙᨀᨘᨕᨆᨛᨂᨗ ᨕᨍ ᨊᨋᨙᨕᨗ ᨕᨘᨒᨛ ᨕᨔᨙ ᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨄᨒᨙᨈᨙᨕᨗ ᨌᨑᨗᨈᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨓᨛᨈᨘ ᨒᨕᨚᨊ ᨈᨕᨘᨕᨙ ᨆᨒ ᨕᨘᨓᨕᨙ᨞ ᨊᨌᨚᨕᨙᨑᨗ ᨁᨛᨋ᨞ ᨁᨚ᨞ ᨕᨊ ᨅᨌᨗ᨞ ᨒᨕᨙ ᨒᨕᨙ᨞ ᨅᨛᨔᨗ ᨅᨋᨚᨂ᨞ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨄᨀᨀᨔ ᨕᨊᨘ ᨈᨚᨑᨗᨕᨚᨒᨚ᨞ ᨕᨛᨃ ᨈᨚᨄ ᨄᨑᨗᨆᨛ ᨄᨀᨀᨔᨊ ᨑᨗᨒᨕᨗᨂᨙ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ᨞ ᨉᨘᨕ ᨄᨗᨑᨗ ᨕᨚᨈ᨞ ᨉᨘᨕ ᨄᨗᨑᨗ ᨈᨛᨒᨚ᨞ ᨉᨘᨕ ᨄᨗᨑᨗ ᨑᨙᨈᨗ᨞ ᨉᨘᨕ ᨄᨗᨑᨗ ᨓᨛᨊᨚ᨞ ᨅᨑᨛ ᨄᨈᨋᨘᨄ ᨅᨑᨛ ᨑᨗᨉᨗ᨞ ᨅᨑᨛ ᨌᨛᨒ ᨔᨗᨅᨓ ᨅᨑᨛ ᨄᨘᨈᨙ᨞ ᨓᨛᨈᨘ ᨒᨛᨈᨘᨊ ᨉᨙᨋᨙᨑᨚ ᨑᨗ ᨔᨒᨚᨕᨙ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨊᨄᨆᨘᨒ ᨊᨚ ᨑᨗ ᨔᨒᨚᨕᨙ᨞ ᨆᨄᨆᨘᨒᨕᨗ ᨊᨄᨊᨚ ᨕᨍᨙ ᨕᨈᨕᨘᨊ ᨊᨄ ᨊᨅᨁᨙ ᨅᨁᨙ ᨄᨗᨑᨗᨂᨙᨑᨚ ᨉᨙᨋᨙ᨞ ᨈᨔᨗᨄᨗᨑᨗ ᨈᨔᨗᨄᨗᨑᨗ ᨊᨄᨊᨚ ᨀᨚᨑᨗ ᨔᨒᨚᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨒᨕᨗᨊᨕᨙ ᨑᨗᨄᨒᨗᨔᨘᨕᨗ ᨆᨙᨋᨙ ᨑᨗ ᨄᨚᨈᨊᨂᨙ᨞ ᨈᨓᨊ ᨒᨕᨘ ᨒᨒᨙ᨞ ᨑᨗᨓᨛᨈᨘ ᨊᨀᨊ ᨑᨗ ᨕᨘᨓᨕᨙ ᨈᨚ ᨆᨕᨙᨁᨕᨙ ᨉᨙ ᨊᨄᨛᨈᨘ ᨕᨘᨊᨗ ᨁᨛᨋᨂᨙ᨞ ᨁᨚ ᨕᨙ᨞ ᨕᨊ ᨅᨌᨗ ᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨒᨕᨗᨊᨕᨙ ᨈᨚᨄ ᨕᨘᨊᨗ ᨕᨘᨊᨗᨕᨙ ᨕᨗᨕᨆᨊᨛ᨞ ᨄᨄ ᨅᨍᨕᨗ ᨑᨗᨈᨗᨓᨗ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨆᨈᨘᨒᨗᨒᨗ ᨑᨗ ᨀᨇᨚᨂᨙ ᨆᨂᨘᨍᨘ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨁᨒᨘ ᨕᨙ᨞ ᨑᨗᨓᨛᨈᨘ ᨆᨈᨘᨒᨗᨒᨗ ᨊᨑᨚ ᨉᨙᨋᨙ ᨔᨗᨊᨗᨊ ᨈᨕᨘ ᨕᨙ ᨈᨛᨈᨚ ᨕᨙ ᨑᨗ ᨓᨗᨑᨗ ᨒᨒᨛ ᨕᨙ ᨄᨉ ᨆᨈᨗᨓᨗ ᨆᨊᨛ ᨕᨘᨓᨕᨙ ᨈᨔᨗᨄᨈᨙ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨒᨒᨚᨊᨗ ᨈᨕᨘ ᨆᨕᨙᨁ ᨄᨉ ᨑᨗᨔᨗᨑᨂᨗ ᨕᨘᨓᨕᨙ᨞ ᨊᨑᨙᨀᨚ ᨄᨘᨑ ᨆᨊᨛᨊᨗ ᨊᨈᨘᨒᨗᨒᨗ ᨀᨇᨚ ᨕᨙ ᨆᨊᨘᨍᨘ ᨆᨊᨛᨔᨗ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨄᨔ ᨕᨙ᨞ ᨀᨚᨔᨗᨑᨚ ᨑᨗ ᨄᨔ ᨕᨙ ᨆᨍᨚᨁᨙᨔᨗ ᨅᨗᨔᨘ ᨕᨙ᨞ ᨄᨘᨑᨕᨗ ᨆᨍᨚᨁᨙ ᨊᨄᨊᨗ ᨄᨉ ᨒᨗᨔᨘ ᨆᨊᨛ ᨒᨕᨚ ᨑᨗ ᨅᨚᨒᨊ ᨕᨑᨍ ᨕᨙ ᨕᨗᨕᨊᨑᨗᨈᨘ ᨅᨚᨒ ᨊᨍᨁ ᨕᨙ ᨄᨘᨕ ᨆᨈᨚᨕ ᨔᨗᨅᨓ ᨄᨈᨄᨘᨒᨚ ᨅᨗᨔᨘ᨞ ᨆᨄᨀᨚᨊᨗᨑᨚ ᨌᨑᨗᨈᨊ 'ᨕᨑᨍ ᨕᨙ' ᨑᨗ ᨔᨛᨁᨙᨑᨗ᨞ Terjemahan Bahasa Indonesia ARAJA E RI SEGERI tulisan /ARAJANG E RI SEGERI pengucapanBENDA KERAMAT DI SEGERI Dahulu kala, pada suatu ketika padi para petani tidak berbuah. Hal ini menyebabkan semua penduduk di Segeri merasa kekurangan makanan. Pada waktu itu, Segeri diperintah oleh seorang raja yang bernama 'La Tenrisessu Petta Tolau' dan diberi gelar 'Pajung Lalo e', raja yang pertama di Segeri. Pada suatu malam, seorang bermimpi di dalam istana, yaitu 'Puang Matoa'. Pada malam itu, Puang Matoa melihat ada seorang laki-laki memakai sorban. Laki-laki itu mengatakan, "disebelah utara negeri ini ada sebuah gunung yang diatas gunung itu ada sebuah 'bajak". Ketika raja mendengar mimpi Puang Matoa, Ia lalu mengumpulkan orang pintar di Segeri. Diambillah keputusan bahwa hari Jumat yang akan datang, bajak yang ada di atas gunung itu harus diambil dan dibawa ke sini. Tibalah hari Jumat yang telah ditetapkan, berangkatlah semua orang yang telah ditentukan itu. Setelah dekat pada gunung yang dimaksud, dipersilakanlah Puang Matoa berjalan agak ke depan, untuk menunjukkan di mana letak bajak yang dilihatnya dalam mimpi. Ketika sampai di puncak gunung, kelihatanlah bajak yang dimaksudkan itu, tersimpan di atas sebuah kayu yang tersusun seperti rumah-rumah. Bermufakatlah mereka untuk memindahkan bajak itu ke tempat yang agak terang, kemudian berganti-ganti mereka melihat dan memeriksa bajak itu. Semua orang merasa heran melihat bajak itu karena tidak kelihatan sambungan-sarnbungan kayu pada bajak itu. Rupanya bajak itu dari kayu yang sangat besar, kemudian dibuat dan dibentuk menjadi bajak. Ketika bajak di bawa ke Segeri, luar biasa banyaknya orang menjemput bajak yang ajaib itu. Mereka berjejer berdiri di pinggir jalan yang dilalui bajak itu. Waktu tiba di Segeri, bajak itu diarak keliling. Yang berjalan paling depan ialah Puang Matoa dan diikuti empat puluh biksu. Ketika mereka berjalan keliling kampung, tiba-tiba hujan turun dengan sangat derasnya. Berkatalah Puang Matoa, "lnilah alamat bahwa akan jadi padi di Segeri." Setelah selesai mengelilingi kampung, mereka membawa bajak itu ke suatu rumah yang tinggi dan besar. Rumah itu mempunyai em pat puluh tiang dan tiap tiang bundar seperti pohon yang masih tumbuh. Di dalam rumah itu dibuat dinding lawa tenaga artinya dinding yang memisahkan tiap petak. Rumah itu mempunyai tiga dinding pemisah karena rumah itu terdiri dari empat petak dan mempunyai loteng. Di loteng itulah tempat perlengkapan Puang Matoa beserta keempat puluh biksu lainnya. Tempat bajak itu ialah bagian rumah yang paling di belakang. Di situ pula Puang Matoa tidur. Bajak tadi diberina nama Arajang e, tempat tidumya diberi kelambu dan dibuat seperti tempat tidur manusia. Petak yang kedua dari belakang ditempati biksu yang agak pintar menari, Petak yang ketiga ditempati biksu yang baru belajar menari. Petak yang paling depan disediakan untuk tamu. Dilanjutkan cerita. Yang disebut Arajang e adalah bajak, yaitu salah satu jenis alat pertanian yang lengkap, dipakai pada upacara palili . Upacara pa/ili itu diadakan pada waktu permulaan musirn barat yang dipirn pin oleh Puang Matoa, pemirnpin dari biksu atau biasa juga disebut "sanro dukun. Dukun pada waktu itu bernama Sanro Soko atau Dukun Soko. Dukun ini yang menentukan hari dimulainya upacara palili . Biasanya upacara itu dirnulai pada hari kesembilan terbitnya bulan atau sembilan hari sebeium bulan itu berakhir. Apabila Arajang e akan diturunkan, semua biksu berpuasa tiga hari tiga malam. Mereka tidak boleh tidur selama berpuasa, tetapi harus menari sambil menyanyi. Mulailah diturunkan ~ Arajang e. yang dilakukan oleh dukun yang disebut juga Puang Matoa. Pada waktu Puang Matoa memegang Arajang e mulailah ia menyanyi, lalu diikuti oleh empat puluh biksu. Nyanyian permulaan yaitu untuk membangunkan "Oooo . . . mpa" dan dijawab oleh biksu lain "Batari". Baiklah kita simak nyanyian biksu ini, yang mereka namakan bahasa dari langit, artinya sebagai berikut. Bangunlah mereka yang tidur. Kubuai mereka yang rebah. Rebah di tanah Luwu Tidur di negeri kelahiran Nyanyian Puang Matoa itu disambut dengan nyanyian kur oleh 40 biksu. Bangunlah menampakkan wajah Tampak dengan muka berseri Menari-nari bersama kami Bersama turun bersama naik Menjatuhkan langkah bersama Melangkah di daerah kelahiran Negeri tanah tumpah darahmu Rebah di kala mentari menyinar Tidur di kala bulan memancar Bangunlah mereka-yang tidur Kubuai mereka yang rebah Bangunlah mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di Pertiwi Tidur di atas buaian Bangunkan mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di Pertiwi Tidur di belanga yang kosong Bangunkan mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di bawah arus Tidur di Pertiwi Bangunkan mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di puncak cakrawala Tidur di antara kilat menyambar Bangunkan mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di tepi langit Tidur di balik pelangi Bangunkan mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di luar langit Tidur di antara kilat menyambar Bangunkan mereka yang tidur Kubuai mereka yang rebah Rebah di pangkuan kekasih Tidur di dalam dunia Setelah dinyanyikan nyanyian di atas, maka Puang Matoa sendiri yang menyanyi sebagai penutup nyanyian untuk membangunkan Arajang e di Segeri. Telah bangun kerajaan Juga menurun dari langit Mata ke kiri ke kanan di Tolo nama negeri di Biar rebah di tangga naik Tentera di kata biksu Mendekap dalam pelukan Bak air mengalir di langit Naik berbuai di buaian pelangi Selamat pada kelahiran semula Berita di kala aku lahir Bertukar kata pada Dewata Kata dihibur dengan tari Mengalir di air tenang Kutimba dan kubaca doa Takkan tidak kupercaya Bahwa dia orang di langit Kukenal orang di Lasuardi Kami pengasuh biksu Nasib dari orang di langit Biasa dalam kerusuhan Kami bilang hanya Dewata Parau kita punya suara Dicekik rasa leher kita Berdebar rasa jan tung kita Memukul papan Sampai malam hari Menyanyi menari-nari Di sisi kelamku luas Untuk keselamatan Bagi semua manusia Oh Dewa . . . Terimalah Demikianlah selanjutnya nyanyian membangunkan Arajang e . Setelah Arajang e bangun, dihadirkanlah Matoa Segeri Kepala Kampung Segeri. Kemudian, Puang Matoa kepala biksu mencabut kem maddampu alameng yang disusul oleh Matoa Segeri dengan mirnik yang menyeramkan dan beremosi sehingga bisa melahirkan ekspresi, yang bampir menyerupai Atu, yaitu deklamasi sanjak daerah. Puang Matoa menyanyi serta diikuti gerakan dengan nyanyian sebagai berikut. Oh ... Dewa Keindahan, bahasaku dalam janji Menjulang-julang ke langit janjimu Didampingi hiasan pelangi Yang damai mertua dengan mertua Sealir dalam aliran sungai damai Oh ... Dewa Nyanyian di atas diulangi sampai tiga kali. Setelah nyanyian selesai, Puang Matoa beranggapan bahwa Arajang e telah bangun dan dibuatkanlah sandaran. Berkwnpullah rakyat tani, pedagang, pemerintahan, budak, dan seluruh rakyat Segeri sambil memikul air untuk air mandi Arajang e. Kemudian, dimandikanlah Arajang e oleh Puang Matoa. Orang-orang yang berkumpul tadi, pada mandi di bawah tempat dimana Arajang e dimandikan. Sesudah dimandikan, Arajang e dibuogkus dengan daun pisang yang diarnbil dari desa Takku, Cempu e, dan Segeri sendiri. Sesudah Arajang e dibungkus, orang banyak tadi bersama Puang Matoa pergi mengambil tumbuhan yang dinamai " istilah Bugis Mattikke Yang dikatakan ialah batang pisang lengkap dengan daunnya. Yang menyediakannya ialah Matoa Tiniporongeng Kepala Kampung Tirnporongeng sebuah kampung di Segeri. Batang pisang itu dilengkapi dengan sebiji nangka dan dua biji kelapa yang digantung pada puncak batang pisang itu. Selanjutnya, dilengkapi dengan dahan kayu, berupa 1. siri, 2. telle serupa bambu kecil, 3. araso semacam tebu, 4. batang moli-moli. Kesemuanya ini adalah kayu-kayuan, yang diberi semua pada pohon pisang tadi, maka dinamailah batang pisang itu Lau Lalle. Hal ini diibaratkan bersamaan datangnya dengan Arajang e saudara Arajang e yang tertua dan disimbolkan sebagai seorang yang sudah tua yang sedang menanti saat kematian. Lau Lalle ini diletakkan berdampinqan dengan Arajang e. Setelah itu menyanyilah Puang Matoa bersama empat biksu. Maksud nyanyian itu adalah untuk mengantar kematian Lau Lalle agar jangan terlalu tersiksa. Setelah selesai menyanyi, maka berdirilah Matoa Segeri mencabut pedang dan menebang Lau Lalle dengan niat membunuh semua hama padi, yang biasanya mengganggu padi. Singkat cerita. Ketika orang ban yak pergi mengambil air, diiringi dengan gendang, gong, anak beccinq, lae-lae, besi bongrongor, dan semua peralatan kuno. Masih ada lagi tambahan yang lain, seperti dua piring sirih, dua piring telur, dua piring pisang, dua piring jagung yang sudah digoreng, dan beras empat macam, yaitu beras kuning, beras hitam, beras merah , dan beras putih. Ketika tiba di sungai, Puang Matoa yang mula-mula turun ke sungai dengan menurunkan kaki sebelah kanan, sambil membagi-bagi piring tadi, untuk diturunkan ke sungai, yang lainnya dinaikkan kembali ke pinggir sungai bagian Lau Lalle . Ketika orang banyak itu turun ke air, tidak berhenti-hentinya berbunyi gong, gendang, dan lain-lain alat bunyi-bunyian. Keesokan harinya, dibawalah Arajang e menuju sawah. Ketika berkeliling kampung untuk menuju ke sawah, semua orang yang berdiri di pinggir jalan masing-masing membawa air satu ember. Pada waktu Arajang e bersama pengantarnya lewat, mereka disirami air oleh orang-orang yang berdiri itu. Setelah berkeliling kampung, mereka menuju ke pasar. Di situ berlangsung lagi acara tari-tarian yang dibawakan oleh biksu-biksu pengiring Arajang e tadi. Selesai acara di pasar, mereka pulang ke tempat kediaman Arajang e. Rumah itu dijaga oleh Puang Matoa beserta empat puluh biksu. Adapun maksud dan tujuan diupacarakannya Arajang e adalah agar padi menjadi berhasil baik. Demikianlah cerita Puang Matoa tentang benda keramat di Segeri. Referensi Mattaliti, M. Arief. 1989. Sastra Lisan Prosa Bugis. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Note Araja e ri Segeri merupakan salah satu sastra lisan Prosa Bugis yang saya ambil dari buku 'Sastra Lisan Prosa Bugis' tulisan M. Arief Mattalitti yang diterbitkan Depdikbud tahun 1989 dengan beberapa penyesuaian logat yang daerah saya miliki. Dalam bukunya, cerita sastra ini ditulis dalam huruf latin, yang kemudian saya tuliskan dalam aksara lontara. Hal ini saya lakukan sebagai bentuk kepedulian saya pada pelestarian sastra dan aksara lokal. Sebagai penduduk biasa Indonesia dari suku Bugis, saya ingin agar budaya bugis dan aksara dan bahasa tradisional Indonesia secara keseluruhan, tidak sepenuhnya tergerus oleh arus globalisasi yang kian hari dampaknya semakin terasa pada kehidupan sehari-sehari. Saya bukan seorang yang profesional dalam menuliskan aksara lontara. Pengetahuan saya cuma terbatas pada apa yang saya ingat dari pelajaran SD dan SMP yang terakhir kali saya pelajari sekitar 13 tahun yang lalu waktu SMA tidak ada pelajaran bahasa daerah meskipun dalam keseharian saya, bahasa bugis selalu menjadi bahasa utama yang kami gunakan di pedesaan. Jadi, mungkin dalam penulisan sastra dalam aksara lontara ini ada beberapa kesalahan yang sekiranya dapat dimaklumi, terutama terkait penggunaan partikel. Dalam menuliskan partikel pada tulisan ini, saya berusaha untuk selalu memisahkan kata utama dengan partikel sebab dalam aksara lontara tidak dikenal huruf konsonan tunggal dan dalam pelajaran SD dan SMP fokus utamanya adalah terbatas pada pengenalan dan baca tulis lewat sastra, jadi tentang tata bahasa bugis, ilmu saya kurang terutama pada penggunaan partikel. Saya menyadari ada beberapa ketidakkonsistenan dalam penulisan aksara lontara saya, maka dari itu saya berusaha memperbaiki meskipun mungkin ada saja yang terlewatkan. Karena itu, jika Anda seorang yang mampu menulis aksara lontara dengan baik, kritik dan sarannya sangat diharapkan guna memperbaiki tulisan ini.
Silsilakerajan Bugis di sulawesi. Mengikut sejarah dan peradaban awal mula To Manurung, di situlah bermulanya kerajaan bugis di sulawesi selatan atau di panggil celebes, Indonesia, seperti : 1.Tamboro Langi di Gunung Latimojong ( namun sejarah yg bertulis tidak di temukan di mana-mana lontara, melainkan peninggalan-peninggalan dan cerita
Aksara Lontara Suku Bugis - Tulisan Dan Huruf Bugis. Kebudayaan diciptakan karena adanya kebutuhan needs manusia untuk mengatasi berbagai problem yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah TULISAN. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka. Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan firman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan tulisan yang dijadikan salah Satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya. Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a king of social problem solving, and any writing system as the comman solution of a number of related problem” 198915 Alat Untuk Pengingat Memperluas jarak komunikasi Sarana Untuk memindahkan Pesan Untuk Masa Yang akan datang Sebagai Sistem Sosial Kontrol Sebagai Media Interaksi Sebagai Fungsi estetik Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis Dan Budaya Makassar. Disulawesi selatan ada tiga betuk macam huruf yang pernah dipakai secara bersamaan. Huruf Lontaraq Huruf Jangang-Jangang Huruf Serang Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontaraq mempunyai dua pengertian yang terkandung didalamnya Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan Lontaraq sebagai tulisan Kata lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Kenapa disebuat sebagai lontaraq ? karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Daun lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan panjangnya tergantung dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan. Aksara lontara biasa juga disebut dengan aksara sulapaq eppaq. Karakter huruf bugis ini diambil dari Aksara Pallawa Rekonstruksi aksara dunia yang dibuat oleh Kridalaksana Memang terdapat bebrapa varian bantuk huruf bugis di sulawesi selatan, tetapi itu tidaklah berarti bahwa esensi dasar dari huruf bugis ini hilang, dan itu biasa dalam setiap aksara didunia ini. Hanya ada perubahan dan penambahan sedikit yang sama sekali tidak menyimpang dari bentuk dasar dari aksara tersebut. Varian itu disebabkan antara lain Penyesuaian antara bahasa dan bunyian yang diwakilinya. Penyesuaian antara bentuk huruf dan sarana yang digunakan Demikianlah tentang Aksara Lontara Suku Bugis - Tulisan Dan Huruf Bugis sumber artikel portalbugis wordpress com